Selasa, 17 Mei 2011

Ganti nama

Perusahaan Ganti nama
Yang perlu diperhatikan justru
lihat dulu kenapa perusahaan tsb
ganti nama.
1. Apabila terjadinya pergantian
nama disebabkan karena
perubahan status,
penggabungan, peleburan, atau
perubahan kepemilikan
perusahaan : maka berlaku pasal
163, ayat 1 dan 2 – UU
ketenagakerjaan No.13 Tahun
2003.
Pasal 163
1. Pengusaha dapat
melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dalam hal terjadi
peru-bahan status,
penggabungan, peleburan, atau
perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/buruh
tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja, maka pekerja/
buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang perhargaan masa kerja
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).
2. Pengusaha dapat
melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena
perubahan status,
penggabungan, atau peleburan
perusahaan, dan pengusaha
tidak bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaannya,
maka pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja 1
(satu) kali ketentuan dalam Pasal
156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).

2. Apabila terjadinya pergantian
nama disebabkan karena
perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun,
atau keadaan memaksa (force
majeur) : maka berlaku pasal
164, ayat 1,2 dan 3 – UU
ketenagakerjaan No.13 Tahun
2003.
Pasal 164
1. Pengusaha dapat
melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena
perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun,
atau keadaan memaksa (force
majeur), dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2)
uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2. Kerugian perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporan keuangan 2 (dua) tahun
terakhir yang telah diaudit oleh
akuntan publik.
3. Pengusaha dapat
melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 (dua)
tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force
majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).

3. Apabila terjadinya pergantian
nama disebabkan karena
perusahaan pailit (dalam hal ini
diambil alih) : maka berlaku pasal
165 – UU ketenagakerjaan No.13
Tahun 2003.Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/ buruh karena
perusahaan pailit, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Selasa, 10 Mei 2011

31 PENYAKIT AKIBAT KERJA

> Secara hukum Penyakit Akibat
Kerja ada dalam Kepres RI No. 22
tahun
> 1993 tentang Penyakit yang
Timbul karena hubungan kerja
>
> Pasal 1. Penyakit yang timbul
karena hubungan kerja adalah
penyakit
> yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja
>
> Penyakit itu terdiri atas:
>
> 1.Pneumokoniosis (silikosis,
antrakosilikosis, asbestosis) &
> silikotbc.
> 2.Penyakit paru karena debu
logam keras
> 3.Penyakit paru karena debu
kapas, vlas, henep & sisal
(bissinosis)
> 4.Asma akibat kerja
> 5.Alveolitis alergika karena
debu organik
> 6.Penyakit karena berilium atau
senyawanya
> 7.Penyakit karena kadmium
atau senyawanya
> 8.Penyakit karena fosfor atau
senyawanya
> 9.Penyakit karena krom atau
senyawanya
> 10.Penyakit karena Mn atau
senyawannya
> 11.Penyakit karena As atau
senyawanya
> 12.Penyakit karena Hg atau
senyawanya
> 13.Penyakit karena Pb atau
senyawanya
> 14.Penyakit karena F atau
senyawanya
> 15.Penyakit karena CS2
> 16.Penyakit karena Halogen
dari senyawa alifatik atau
aromatik
> 17.Penyakit karena benzena
atau homolognya
> 18.Penyakit karena nitro dan
amina dari benzena atau
homolognya
> 19.Penyakit karena
nitrogliserin atau ester asam
nitrat
> 20.Penyakit karena alkohol,
glikol atau keton
> 21.Penyakit karena gas/uap
penyebab asfiksia atau
keracunan CO, HCN,
> HS2 atau derivatnya, NH3, Zn,
braso dan Ni.
> 22.Kelainan pendengaran
karena kebisingan
> 23.Kelainan karena getaran
mekanik (kelainan otot, urat,
tulang
> persendian, pembuluh darah
tepi atau saraf tepi)
> 24.Penyakit karena udara
bertekanan lebih
> 25.Penyakit karena radiasi
elektromagnetik dan radiasi
pengion
> 26.Penyakit kulit karena
penyebab fisik, kimia, atau
biologi
> 27.Peyakit kulit epitelioma
primer karena pit, bitumen,
minyak
> mineral, antrasena atau
senyawanya, produk atau residu
zat tsb.
> 28.Kanker paru atau
mesotelioma karena asbes
> 29.Peyakit infeksi oleh virus,
bakteri atau parasit pada pekerja
> berisiko kontaminasi khusus
> 30.Penyakit karena suhu tinggi
atau rendah atau panas radiasi
atau
> kelembaban udara tinggi
> 31.Penyakit karena bahan
kimia lain termasuk bahan obat.

Pembangunan Mesjid Attaisiir: LATAR BELAKANG

Pembangunan Mesjid Attaisiir: LATAR BELAKANG: "Manusia diciptakan Allah SWT agar menjadi umat yang taat dan beramal ibadah kepada-Nya, salah satu cara untuk taat dan terus menerus menyemb..."

Senin, 09 Mei 2011

KEP 231 MEN 2003 TENTANG PELAKSANAAN PENANGGUAN UPAH MINIMUM

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 231 /MEN/2003
TENTANG
TATA CARA PENANGGUHAN
PELAKSANAAN UPAH MINIMUM
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa sebagai
pelaksanaan Pasal 90
ayat (2) dan (3)
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan, perlu
diatur mengenai tata
cara penangguhan
pelaksanaan upah
minimum;
b. bahwa berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana tersebut
pada huruf a, perlu
ditetapkan dengan
Keputusan Menteri;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 3
Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang
Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik
Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 80
Tahun 1957 tentang
Persetujuan Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional No.
100 mengenai Pengupahan
yang Sama Bagi Buruh Laki-laki
dan Wanita untuk Pekerjaan
yang Sama Nilainya (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 171
dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 2153);
3. Undang-undang Nomor 7
Tahun 1981 tentang Wajib
Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 3201);
4. Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
3839);
5. Undang-undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
(Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4279);
7. Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54);
8. Keputusan Presiden Nomor
228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong
Royong.
Memperhatikan:
1. Pokok-pokok Pikiran
Sekretariat Lembaga
Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 31 Juli
2003;
2. Kesepakatan Rapat
Pleno Lembaga
Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 9
Oktober 2003;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG
TATA CARA PENANGGUHAN
PELAKSANAAN UPAH MINIMUM.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini
yang dimaksud dengan :
1. Upah minimum adalah
upah minimum yang ditetapkan
oleh Gubernur.
2. Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan,
persekutuan, atau
badan hukum yang
menjalankan suatu
perusahaan milik
sendiri;
b. orang perseorangan,
persekutuan atau
badan hukum yang
secara berdiri sendiri
menjalankan
perusahaan bukan
miliknya;
c. orang perseorangan,
persekutuan atau
badan hukum yang
berada di Indonesia
mewakili perusahaan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf
a dan b yang
berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh
adalah organisasi yang dibentuk
dari, oleh, dan untuk pekerja/
buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka
mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela
serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya.
Pasal 2
(1) Pengusaha dilarang
membayar upah pekerja lebih
rendah dari upah minimum.
(2) Dalam hal pengusaha tidak
mampu membayar upah
minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan
penangguhan pelaksanaan upah
minimum.
Pasal 3
(1) Permohonan
penangguhan pelaksanaan upah
minimum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (2)
diajukan oleh pengusaha
kepada Gubernur melalui
Instansi yang bertanggung
jawab di bidang
ketenagakerjaan Provinsi paling
lambat 10 (sepuluh) hari
sebelum tanggal berlakunya
upah minimum.
(2) Permohonan
penangguhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas kesepakatan
tertulis antara pengusaha
dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh
yang tercatat.
(3) Dalam hal di perusahaan
terdapat 1 (satu) Serikat
Pekerja /Serikat Buruh yang
memiliki anggota lebih 50 %
dari seluruh pekerja di
perusahaan , maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan untuk menyepakati
penangguhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Dalam hal di satu
perusahaan terdapat lebih dari 1
(satu) Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, maka yang berhak
mewakili pekerja/buruh
melakukan perundingan untuk
menyepakati penangguhan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) adalah Serikat Pekerja/
Serikat Buruh yang memiliki
anggota lebih dari 50 % (lima
puluh perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut.
(5) Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja /serikat buruh
dapat melakukan koalisi
sehingga tercapai jumlah lebih
dari 50 % (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja / buruh di perusahaan
tersebut untuk mewakili
perundingan dalam
menyepakati penangguhan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(6) Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) atau ayat (5) tidak
terpenuhi, maka para pekerja/
buruh dan serikat pekerja/
serikat buruh membentuk tim
perunding yang
keanggotaannya ditentukan
secara proporsional
berdasarkan jumlah pekerja/
buruh dan anggota masing
masing serikat pekerja/serikat
buruh.
(7) Dalam hal di perusahaan
belum terbentuk serikat pekerja/
serikat buruh, maka
perundingan untuk menyepakati
penangguhan pelaksanaan upah
minimum dibuat antara
pengusaha dengan pekerja/
buruh yang mendapat mandat
untuk mewakili lebih dari 50 %
(lima puluh perseratus)
penerima upah minimum di
perusahaan.
(8) Kesepakatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dilakukan melalui
perundingan secara mendalam,
jujur, dan terbuka.
Pasal 4
(1) Permohonan penangguhan
pelaksanaan upah minimum
harus disertai dengan :
a. naskah asli
kesepakatan tertulis
antara pengusaha
dengan serikat
pekerja/serikat buruh
atau pekerja/buruh
perusahaan yang
bersangkutan;
b. laporan keuangan
perusahaan yang
terdiri dari neraca,
perhitungan rugi/laba
beserta penjelasan-
penjelasan untuk 2
(dua) tahun terakhir;
c. salinan akte pendirian
perusahaan;
d. data upah menurut
jabatan pekerja/buruh;
e. jumlah pekerja/buruh
seluruhnya dan jumlah
pekerja/buruh yang
dimohonkan
penangguhan
pelaksanaan upah
minimum;
f. perkembangan
produksi dan
pemasaran selama 2
(dua) tahun terakhir,
serta rencana produksi
dan pemasaran untuk
2 (dua) tahun yang
akan datang;
(2) Dalam hal perusahaan
berbadan hukum laporan
keuangan perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b harus sudah
diaudit oleh akuntan publik.
(3) Berdasarkan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), apabila diperlukan
Gubernur dapat meminta
Akuntan Publik untuk
memeriksa keadaan keuangan
guna pembuktian
ketidakmampuan perusahaan.
(4) Berdasarkan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Gubernur menetapkan
penolakan atau persetujuan
penangguhan pelaksanaan upah
minimum setelah menerima
saran dan pertimbangan dari
Dewan Pengupahan Provinsi.
Pasal 5
(1) Persetujuan penangguhan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) ditetapkan oleh
Gubernur untuk jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Penangguhan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan dengan :
a. membayar upah
minimum sesuai upah
minimum yang lama,
atau;
b. membayar upah
minimum lebih tinggi
dari upah minimum
lama tetapi lebih
rendah dari upah
minimum baru, atau;
c. menaikkan upah
minimum secara
bertahap.
(3) Setelah berakhirnya izin
penangguhan, maka pengusaha
wajib melaksanakan ketentuan
upah minimum yang baru.
Pasal 6
(1) Penolakan atau
persetujuan atas permohonan
penangguhan yang diajukan
oleh pengusaha, diberikan
dalam jangka waktu paling lama
1 (satu) bulan terhitung sejak
diterimanya permohonan
penangguhan secara lengkap
oleh Gubernur.
(2) Dalam hal jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berakhir dan belum ada
keputusan dari Gubernur,
permohonan penangguhan
yang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
maka permohonan
penangguhan dianggap telah
disetujui.
Pasal 7
(1) Selama permohonan
penangguhan masih dalam
proses penyelesaian, pengusaha
yang bersangkutan tetap
membayar upah sebesar upah
yang biasa diterima pekerja/
buruh.
(2) Dalam hal permohonan
penangguhan ditolak Gubernur,
maka upah yang diberikan oleh
pengusaha kepada pekerja/
buruh, sekurang-kurangnya
sama dengan upah minimum
yang berlaku terhitung mulai
tanggal berlakunya ketentuan
upah minimum yang baru.
Pasal 8
Dengan ditetapkannya
keputusan ini, maka segala
peraturan perundang-undangan
yang bertentangan dengan
keputusan ini dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 9
Keputusan Menteri ini mulai
berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 31 Oktober 2003
MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JACOB NUWA WEA

PP RI NO 76 TAHUN 2007

PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 76 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KELIMA ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG
PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :a. bahwa besarnya santunan
cacat total dan cacat
sebagian karena hilangnya
kemampuan kerja fisik,
penggantian biaya
pengobatan, perawatan
dan pengangkutan yang
diberikan kepada pekerja/
buruh serta santunan
kematian karena
kecelakaan kerja, santunan
kematian bukan karena
kecelakaan kerja, dan
biaya pemakaman yang
diberikan kepada
keluarganya, tidak sesuai
lagi dengan kondisi saat
ini;
b.bahwa dalam rangka
meningkatkan pelayanan
bagi pekerja/buruh yang
mengalami cacat karena
kecelakaan kerja perlu
dilakukan pelayanan
rehabilitasi medik untuk
dapat mengembalikan
fungsi tubuh yang
mengalami kecacatan;
c. bahwa berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah
tentang Perubahan Kelima
Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja;
Mengingat :1.Pasal 5 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945;
2.Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 3468);
3.Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1993 Nomor 20,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 3520),
sebagaimana diubah
terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 64
Tahun 2005 (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 147,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 4582);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG PERUBAHAN KELIMA
ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 14
TAHUN 1993 TENTANG
PENYELENGGARAAN
PROGRAM JAMINAN SOSIAL
TENAGA KERJA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1993 Nomor 20,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 3520) yang telah
beberapa kali diubah
dengan Peraturan
Pemerintah :
a. Nomor 79 Tahun 1998
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 184,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 3792);
b.Nomor 83 Tahun 2000
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 164,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 4003);
c. Nomor 28 Tahun 2002
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 53,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 4023);
d.Nomor 64 Tahun 2005
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 147,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 4582); diubah
sebagai berikut :
1.Ketentuan Pasal 22 ayat (1)
diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 22
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22
(1)Jaminan kematian
dibayar sekaligus
kepada janda atau duda
atau anak, yang
meliputi :
a. santunan kematian
sebesar
Rp10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah);
b.santunan berkala
sebesar Rp200.000,-
(dua ratus ribu
rupiah) per bulan
diberikan selama 24
(dua puluh empat)
bulan; dan
c. biaya pemakaman
sebesar Rp2.000.000,-
(dua juta rupiah).
(2)Dalam hal janda atau
duda atau anak tidak
ada, maka jaminan
kematian dibayar
sekaligus kepada
keturunan sedarah
yang ada dari tenaga
kerja, menurut garis
lurus kebawah dan
garis lurus ke atas
dihitung sampai derajat
kedua.
(3)Dalam hal tenaga kerja
tidak mempunyai
keturunan sedarah
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), maka
jaminan kematian
dibayarkan sekaligus
kepada pihak yang
ditunjuk oleh tenaga
kerja dalam wasiatnya.
(4)Dalam hal tidak ada
wasiat, biaya
pemakaman dibayarkan
kepada pengusaha atau
pihak lain guna
pengurusan
pemakaman.
(5)Dalam hal magang atau
murid, dan mereka
yang memborong
pekerjaan, serta
narapidana meninggal
dunia bukan karena
akibat kecelakaan kerja,
maka keluarga yang
ditinggalkan tidak
berhak atas jaminan
kematian.
2.Ketentuan pada Lampiran
II Romawi I huruf A angka
2 dan angka 3 serta huruf
B, huruf C dan huruf E dan
Romawi II diubah,
sehingga berbunyi
sebagai berikut :
LAMPIRAN II
I. BESARNYA JAMINAN
KECELAKAAN KERJA
A.Santunan.
1.Santunan Sementara
Tidak Mampu
Bekerja (STMB) 4
bulan pertama
100% x upah
sebulan, 4 bulan
kedua 75% x upah
sebulan dan bulan
seterusnya 50% x
upah sebulan.
2.Santunan cacat :
a. santunan cacat
sebagian untuk
selama-lamanya
dibayarkan secara
sekaligus
(lumpsum) dengan
besarnya % sesuai
tabel x 80 bulan
upah.
b.santunan cacat
total untuk
selama-lamanya
dibayarkan secara
sekaligus
(lumpsum) dan
secara berkala
dengan besarnya
santunan adalah :
b.l. santunan
sekaligus
sebesar 70% x
80 bulan upah;
b.2.santunan
berkala
sebesar
Rp200.000,-
(dua ratus ribu
rupiah) per
bulan selama
24 (dua puluh
empat) bulan.
c. Santunan cacat
kekurangan fungsi
dibayarkan secara
sekaligus
(lumpsum) dengan
besarnya
santunan adalah :
% berkurangnya
fungsi x % sesuai
tabel x 80 bulan
upah.
3.Santunan kematian
dibayarkan secara
sekaligus (lumpsum)
dan secara berkala
dengan besarnya
santunan adalah :
a. santunan
sekaligus sebesar
60% x 80 bulan
upah, sekurang-
kurangnya
sebesar santunan
kematian.
b.santunan berkala
sebesar
Rp200.000,- (dua
ratus ribu rupiah)
per bulan selama
24 (dua puluh
empat) bulan.
c. Biaya pemakaman
sebesar Rp
2.000.000,- (dua
juta rupiah).
B.Pengobatan dan
perawatan sesuai
dengan biaya yang
dikeluarkan untuk :
1.dokter;
2.obat;
3.operasi;
4.rontgen,
laboratorium;
5.perawatan
Puskesmas, Rumah
Sakit Umum
Pemerintah Kelas I
atau Swasta yang
setara;
6.gigi;
7.mata; dan/atau
8.jasa tabib/sinshe/
tradisional yang
telah mendapat ijin
resmi dari instansi
yang berwenang.
Seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk
peristiwa kecelakaan
tersebut pada B.1.
sampai dengan B.8.
dibayar maksimum
Rpl2.000.000,- (dua
belas juta rupiah).
C. Biaya rehabilitasi
harga berupa
penggantian
pembelian alat bantu
(orthose) dan/atau
alat pengganti
(prothese) diberikan
satu kali untuk setiap
kasus dengan
patokan harga yang
ditetapkan oleh Pusat
Rehabilitasi Rumah
Sakit Umum
Pemerintah dan
ditambah 40% (empat
puluh persen) dari
harga tersebut serta
biaya rehabilitasi
medik maksimum
sebesar Rp2.000.000,-
(dua juta rupiah).
D.Penyakit yang timbul
karena hubungan
kerja.
Besarnya santunan
dan biaya
pengobatan/biaya
perawatan sama
dengan huruf A dan
huruf B.
E. Ongkos
pengangkutan tenaga
kerja dari tempat
kejadian kecelakaan
ke rumah sakit
diberikan
penggantian biaya
sebagai berikut :
1.Bilamana hanya
menggunakan jasa
angkutan darat/
sungai/danau
maksimum sebesar
Rp400.000,- (empat
ratus ribu rupiah).
2.Bilamana hanya
menggunakan jasa
angkutan laut
maksimal sebesar
Rp750.000,- (tujuh
ratus lima puluh
ribu rupiah).
3.Bilamana hanya
menggunakan jasa
angkutan udara
maksimal sebesar
Rp 1.500.000,- (satu
juta lima ratus ribu
rupiah).
II. TABEL PERSENTASE
SANTUNAN TUNJANGAN
CACAT TETAP SEBAGIAN
DAN CACAT-CACAT
LAINNYA.
MACAM CACAT
TETAP SEBAGIAN
% X
UPAH
• Lengan kanan
dari sendi bahu
ke bawah
40
• Lengan kiri dari
sendi bahu ke
bawah
35
• Lengan kanan
dari atau dari
atas siku ke
bawah
35
• Lengan kiri dari
atau dari atas
siku ke bawah
30
• Tangan kanan
dari atau dari
atas
pergelangan ke
bawah
32
• Tangan kiri dari
atau dari atas
pergelangan ke
bawah
28
• Kedua belah
kaki dari
pangkal paha
ke bawah
70
• Sebelah kaki
dari pangkal
paha ke bawah
35
• Kedua belah
kaki dari mata
kaki ke bawah
50
• Sebelah kaki
dari mata kaki
ke bawah
25
• Kedua belah
mata
70
• Sebelah mata
atau diplopia
pada
penglihatan
dekat
35
• Pendengaran
pada kedua
belah telinga
40
• Pendengaran
pada sebelah
telinga 20
• Ibu jari tangan
kanan
15
MACAM CACAT
TETAP SEBAGIAN
% X
UPAH
• Ibu jari tangan
kiri
12
• Telunjuk tangan
kanan
9
• Telunjuk tangan
kiri
7
• Salah satu jari
lain tangan
kanan
4
• Salah satu jari
lain tangan kiri
3
• Ruas pertama
telunjuk kanan
4,5
• Ruas pertama
telunjuk kiri
3,5
• Ruas pertama
jari lain tangan
kanan
2
MACAM CACAT
TETAP SEBAGIAN
% X
UPAH
• Ruas pertama
jari lain tangan
kiri
1,5
• Salah satu ibu
jari kaki
5
• Salah satu jari
telunjuk kaki
3
• Salah satu jari
kaki lain
2
MACAM CACAT
TETAP SEBAGIAN
% X
UPAH
• Terkelupasnya
kulit kepala 10-30
• Impotensi 30
• Kaki memendek
sebelah :
• kurang dari 5
cm
10
• 5 cm sampai
kurang dari
7,5 cm
20
• 7,5 cm atau
lebih
30
• Penurunan daya
dengar kedua
belah telinga
setiap 10
desibel
6
• Penurunan daya
dengar sebelah
telinga setiap
10 desibel
3
• Kehilangan
daun telinga
sebelah
5
• Kehilangan
kedua belah
daun telinga
10
• Cacat hilangnya
cuping hidung
30
• Perforasi sekat
rongga hidung
15
• Kehilangan daya
penciuman 10
• Hilangnya
kemampuan
kerja phisik
• 51%-70% 40
• 26%-50% 20
• 10%-25% 5
• Hilangnya
kemampuan
kerja mental
tetap
70
• Kehilangan
sebagian fungsi
penglihatan
7
Setiap
kehilangan
efisiensi tajam
penglihatan
10%. Apabila
efisiensi
penglihatan
kanan dan kiri
berbeda, maka
efisiensi
penglihatan
binokuler
dengan rumus
kehilangan
efisiensi
penglihatan: (3
x % efisiensi
penglihatan
terbaik) + %
efisiensi
penglihatan
terburuk
• Setiap
kehilangan
efisiensi tajam
penglihatan
10%
7
• Kehilangan
penglihatan
warna 10
• Setiap
kehilangan
lapangan
pandang 10% 1
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
pada
tanggal 10
Desember
2007
PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA,
SUSILO
BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal
10 Desember
2007
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR
160

KEP 51/MEN/IV/2004 TENTANG ISTIRAHAT PANJANG PADA PERUSAHAAN TERTENTU

MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 51/MEN/IV/2004
TENTANG
ISTIRAHAT PANJANG PADA
PERUSAHAAN TERTENTU
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa sebagai pelaksanaan
Pasal 79 ayat (4) Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, perlu
diatur mengenai perusahaan
tertentu yang wajib
melaksanakan istirahat
panjang ;
b. bahwa untuk itu perlu
ditetapkan dengan Keputusan
Menteri ;
Mengingat :
1. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1951
tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-
undang Pengawasan
Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari
Republik Indonesia
untuk Indonesia
(Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4) ;
2. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1981
tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di
Perusahaan (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 1981
Nomor 3201) ;
3. Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan
( Lembaran Negara
Republik
IndonesiaTahun 2003
Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor 4279) ;
4. Keputusan Presiden
Republik Indonesia
Nomor 228/M Tahun
2001 tentang
membentukan Kabinet
Gotong Royong.
Memperhatikan :
1. Pokok-pokok Pikiran
Sekretariat Lembaga
Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 23
Maret 2004 ;
2. Kesepakatan Rapat
Pleno Sekretariat
Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional
tanggal 23 Maret
2004 ;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG
ISTIRAHAT PANJANG PADA
PERUSAHAAN TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini
yang dimaksud dengan :
1. Istirahat panjang
adalah istirahat yang
diberikan kepada
pekerja/buruh setelah
masa kerja 6 (enam)
tahun secara terus
menerus pada
perusahaan yang
sama.
2. Perusahaan yang sama
adalah perusahaan
yang berada dalam
satu badan hukum.
3. Menteri adalah Menteri
Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Pasal 2
Perusahaan yang wajib
melaksanakan istirahat panjang
adalah perusahaan yang selama
ini telah melaksanakan istirahat
panjang sebelum ditetapkannya
Keputusan Menteri ini.
Pasal 3
1) Pekerja/buruh yang
melaksanakan hak istirahat
panjang pada tahun ketujuh dan
kedelapan, tidak berhak atas
istirahat tahunan pada tahun
tersebut
2) Selama menjalankan hak
istirahat panjang pekerja/buruh
berhak atas upah penuh dan
pada pelaksanaan istirahat
tahun kedelapan pekerja/buruh
diberikan kompensasi hak
istirahat tahunan sebesar
setengah bulan gaji.
3) Gaji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) terdiri dari upah
pokok ditambah tunjangan
tetap.
Pasal 4
(1) Pengusaha wajib
memberitahukan secara tertulis
kepada pekerja/buruh tentang
saat timbulnya hak istirahat
panjang selambat-lambatnya 30
( tiga puluh) hari sebelum hak
istirahat panjang timbul.
(2) Hak istirahat panjang gugur
apabila dalam waktu 6 (enam)
bulan sejak hak atas istirahat
panjang tersebut timbul
pekerja/buruh tidak
mempergunakan haknya.
(3) Hak istirahat panjang
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak gugur apabila
pekerja/buruh tidak dapat
mempergunakan haknya.
Pasal 5
(1) Perusahaan dapat menunda
pelaksanaan istirahat panjang
untuk paling lama 6 (enam)
bulan terhitung sejak timbulnya
hak atas istirahat panjang
dengan memperhatikan
kepentingan pekerja/buruh dan
atau perusahaan.
(2) Penundaan pelaksanaan
istirahat panjang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus
diatur dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal 6
Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja, tetapi pekerja/
buruh belum empergunakan
hak istirahat panjangnya dan
hak tersebut belum gugur atau
pengusaha menunda
pelaksanaan istirahat panjang
tersebut, maka pekerja/buruh
berhak atas suatu pembayaran
upah dan kompensansi hak
istirahat panjang yang
seharusnya diterima.
Pasal 7
(1) Dalam hal perusahaan telah
memberikan hak istirahat
panjang lebih baik dari
ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan ketentuan
dalam Keputusan Menteri ini,
maka perusahaan tidak boleh
mengurangi hal tersebut.
(2) Dalam hal perusahaan telah
memberikan hak istirahat
panjang kepada pekerja/buruh
tetapi lebih rendah dari
ketentuan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Keputusan
Menteri ini, maka perusahaan
wajib menyesuaikan dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut.
Pasal 8
Pelaksanaan istirahat panjang
diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 9
Menteri dapat menetapkan
perubahan perusahaan yang
wajib memberikan istirahat
panjang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 sesuai dengan
perkembangan
ketenagakerjaan.
Pasal 10
Keputusan Menteri ini mulai
berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Di tetapkan di Jakarta pada
tanggal 8 April 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
JACOB NUWA WEA
PKWT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 hanya boleh
diberlakukan bagi pekerja/
buruh yang melakukan
pekerjaan di luar kegiatan atau
di luar pekerjaan yang biasa
dilakukan perusahaan.
BAB V
PERJANJIAN KERJA HARIAN ATAU
LEPAS
Pasal 10
(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang berubah-ubah
dalam hal waktu dan volume
pekerjaan serta upah
didasarkan pada kehadiran,
dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja harian atau
lepas.
(2) Perjanjian kerja harian lepas
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan pekerja/buruh
bekerja kurang dari 21 (dua
puluh satu ) hari dalam 1
(satu)bulan.
(3) Dalam hal pekerja/buruh
bekerja 21 (dua puluh satu) hari
atau lebih selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih maka
perjanjian kerja harian lepas
berubah menjadi PKWTT.
Pasal 11
Perjanjian kerja harian lepas
yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2)
dikecualikan dari ketentuan
jangka waktu PKWT pada
umumnya.
Pasal 12
(1) Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh
pada pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 wajib
membuat perjanjian kerja harian
lepas secara tertulis dengan
para pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja harian lepas
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat dibuat berupa
daftar pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 sekurang-kurangnya
memuat :
1. nama/alamat
perusahaan atau
pemberi kerja.
2. nama/alamat pekerja/
buruh.
3. jenis pekerjaan yang
dilakukan.
4. besarnya upah dan/
atau imbalan lainnya.
(3) Daftar pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) disampaikan kepada
instansi yang bertanggung
jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat
selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sejak mempekerjakan
pekerja/buruh.
BAB VI
PENCATATAN PKWT
Pasal 13
PKWT wajib dicatatkan oleh
pengusaha kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/
kota setempat selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak penandatanganan.
Pasal 14
Untuk perjanjian kerja harian
lepas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 maka yang
dicatatkan adalah daftar
pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2).
BAB VII
PERUBAHAN PKWT MENJADI
PKWTT
Pasal 15
(1) PKWT yang tidak dibuat
dalam bahasa Indonesia dan
huruf latin berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan
kerja.
(2) Dalam hal PKWT dibuat tidak
memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat
(2), maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak adanya
hubungan kerja.
(3) Dalam hal PKWT dilakukan
untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan produk
baru menyimpang dari
ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan
ayat (3), maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak dilakukan
penyimpangan.
(4) Dalam hal pembaharuan
PKWT tidak melalui masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah berakhirnya
perpanjangan PKWT dan tidak
diperjanjikan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, maka
PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak tidak terpenuhinya syarat
PKWT tersebut.
(5) Dalam hal pengusaha
mengakhiri hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dengan
hubungan kerja PKWT
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4), maka hak-hak pekerja/
buruh dan prosedur
penyelesaian dilakukan sesuai
ketentuan peraturan
perundang-undangan bagi
PKWTT.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Kesepakatan kerja waktu
tertentu yang dibuat
berdasarkan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor PER-06/
MEN/1985 tentang Perlindungan
Pekerja Harian Lepas, Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER-02/MEN/1993 tentang
Kesepakatan Kerja Waktu
Tertentu dan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor PER-05/
MEN/1995 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu pada
Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi, masih
tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya perjanjian kerja
waktu tertentu.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Dengan ditetapkannya
Keputusan Menteri ini, maka
Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-06/MEN/1985
tentang Perlindungan Pekerja
Harian Lepas, Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor PER-02/
MEN/1993 tentang Kesepakatan
Kerja Waktu Tertentu dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-05/MEN/1995
tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu pada Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi, dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Pasal 18
Keputusan Menteri ini berlaku
sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 21 Juni 2004
MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
JACOB NUWA WEA

KEP 100/MEN/VI/2004 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004
TENTANG
KETENTUAN PELAKSANAAN
PERJANJIAN KERJA WAKTU
TERTENTU
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang :
a.
bahwa sebagai pelaksanaan
Pasal 59 ayat (8) Undang-
undang Nomor 13 tentang
Ketenagakerjaan, perlu diatur
mengenai perjanjian kerja
waktu tertentu;
b.
bahwa untuk itu perlu
ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Mengingat :
1.
Undang-undang Nomor 3 Tahun
1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang
Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik
Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1951 Nomor 4 ).
2.
Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);
3.
Undang-undang Nomor 13
tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4279);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
3952);
5.
Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 228/M tahun
2001 tentang Pembentukan
Kabinet Gotong Royong.
Memperhatikan :
1.
Pokok-pokok Pikiran Sekretariat
Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 6 April 2004;
2.
Kesepakatan Rapat Pleno
Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 19 Mei 2004;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG
KETENTUAN PELAKSANAAN
PERJANJIAN KERJA WAKTU
TERTENTU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini
yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu yang
selanjutnya disebut
PKWT adalah perjanjian
kerja antara pekerja/
buruh dengan
pengusaha untuk
mengadakan
hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau
untuk pekerja tertentu.
2. Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu yang
selanjutnya disebut
PKWTT adalah
perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk
mengadakan
hubungan kerja yang
bersifat tetap
3. Pengusaha adalah : a.
Orang perseorangan,
persekutuan, atau
badan hukum yang
menjalankan suatu
perusahaan milik
sendiri;. b.Orang
perseorangan,
persekutuan, atau
badan hukum yang
secara berdiri sendiri
menjalankan
perusahaan bukan
miliknya; c. Orang
perseorangan,
persekutuan, atau
badan hukum yang
berada di Indonesia
mewakili perusahaan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf
a dan b yang
berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
4. Perusahaan adalah : a.
setiap bentuk usaha
yang berbadan hukum
atau tidak, milik orang
perseorangan, milik
persekutuan, atau milik
badan hukum, baik
milik swasta maupun
milik negara yang
mempekerjakan
pekerja/buruh dengan
membayar upah atau
imbalan dalam bentuk
lain; b. usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha
lain yang mempunyai
pengurus dan
mempekerjakan orang
lain dengan membayar
upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
5. Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang
bekerja dengan
menerima upah atau
imbalan dalam bentuk
lain.
Pasal 2
(1) Syarat kerja yang
diperjanjikan dalam PKWT, tidak
boleh lebih rendah daripada
ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Menteri dapat menetapkan
ketentuan PKWT khusus untuk
sektor usaha dan atau pekerjaan
tertentu.
BAB II
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG
SEKALI SELESAI
ATAU SEMENTARA SIFATNYA YANG
PENYELESAIANNYA
PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN
Pasal 3
(1) PKWT untuk pekerjaan yang
sekali selesai atau sementara
sifatnya adalah PKWT yang
didasarkan atas selesainya
pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibuat
untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu
yang diperjanjikan dalam PKWT
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diselesaikan lebih
cepat dari yang diperjanjikan
maka PKWT tersebut putus demi
hukum pada saaat selesainya
pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan
atas selesainya pekerjaan
tertentu harus dicantumkan
batasan suatu pekerjaan
dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat
berdasarkan selesainya
pekerjaan tertentu namun
karena kondisi tertentu
pekerjaan tersebut belum dapat
diselesaikan, dapat dilakukan
pembaharuan PKWT.
(6) Pembaharuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5)
dilakukan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah berakhirnya
perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) tidak
ada hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan pengusaha.
(8) Para pihak dapat mengatur
lain dari ketentuan dalam ayat
(5) dan ayat (6) yang dituangkan
dalam perjanjian.
BAB III
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG
BERSIFAT MUSIMAN
Pasal 4
(1) Pekerjaan yang bersifat
musiman adalah pekerjaan yang
pelaksanaannya tergantung
pada musim atau cuaca.
(2) PKWT yang dilakukan untuk
pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan untuk satu jenis
pekerjaan pada musim tertentu.
Pasal 5
(1) Pekerjaan-pekerjaan yang
harus dilakukan untuk
memenuhi pesanan atau target
tertentu dapat dilakukan dengan
PKWT sebagai pekerjaan
musiman.
(2) PKWT yang dilakukan untuk
pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya
diberlakukan untuk pekerja/
buruh yang melakukan
pekerjaan tambahan.
Pasal 6
Pengusaha yang mempekerjaan
pekerja/buruh berdasarkan
PKWT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 harus membuat
daftar nama pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan tambahan.
Pasal 7
PKWT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak
dapat dilakukan pembaharuan.
BAB IV
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN PRODUK BARU
Pasal 8
(1) PKWT dapat dilakukan
dengan pekerja/buruh untuk
melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk
baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau
penjajakan.
(2) PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan untuk jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun
dan dapat diperpanjang untuk
satu kali paling lama 1 (satu)
tahun.
(3) PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak
dapat dilakukan pembaharuan.
Pasal 9

BERPIKIR STRATEGI

Adalah kemampuan menilai dan
mengembangkan visi dan
strategi yang berorientasi pada
masa depan yang berkaitan
dengan pengetahuan dan analisa
yang memadai tentang faktor
internal:kebutuhan bisnis,
kemampuan dan potensi, serta
faktor eksternal: Kecenderungan
(trend) pasar, industri, politik dan
ekonomi.
Intinya: Apakah seseorang
berpikir mengenai visi jangka
panjang dan memahami dampak
dari tindakan atau keputusannya
dalam jangka panjang?
1.Menilai dan mengaitkan tugas
jangka pendek atau sehari-hari
dalam konteks strategi bisnis
atau perspektif yang jangka
panjang; mempertimbagkan
apakah sasaran jangka pendek
akan menunjang sasaran jangka
panjang. Mengkaji kesesuaian
antara tindakan sendiri terhadap
rencana strategis bank.
Mempertimbangkan gambaran
yang lengkap (“big picture”)
setiap menghadapi peluang atau
proyek atau berpikir tentang
aplikasi jangka panjang ketika
mengambil tindakan.
2.Memahami perkiraan arah
industri dan bagaimana
perubahan2 dapat
mempengaruhi perusahaan.
Memikirkan bagaimana proses
kebijakan dan metode yang
dilakukan saat ini (bukan
tindakannya, namun hal-hal yang
sedang terjadi-ongoing issue)
bisa berdampak terhadap
perkembangan dan
kecenderungan (trend) ekonomi,
politik dan teknologi dimasa
mendatang.
3.Mengembangkan dan
menetapkan sasaran, tujuan atau
proyek jangka panjang.
Merumuskan strategi untuk
digunakan sebagai pedoman
bagi tim, fungsi atau perusahaan
dalam mencapai tujuan
perusahaan.
4.Menyusun kembali tim, fungsi
dan atau bank yang dinilai akan
dapat mencapai tujuan jangka
panjang dengan lebih baik.
Merencanakan serangkaian
tindakan untuk mencapai
sasaran atau visi jangka panjang;
dan atau berbagi (share) tentang
visi masa depan tim, fungsi atau
bank yang diinginkan.
Cara Pengembangan:
Cara terbaik untuk
mengembangkan kompetensi ini
ialah belajar berpikir dan
bertindak seperti seseorang
yang memiliki kompetensi ini
dengan tingkat kedalaman yang
tinggi. Pemantauan yang teratur
terhadap penetapan sasaran
kerja dan pengkajian terhadap
pencapaian sasaran kerja
tersebut adalah sangat penting.
Memang sulit, tetapi masih
mungkin dilakukan untuk
mengembangkan kemampuan
untuk menyelaraskan berbagai
visi jangka panjang dan berbagai
konsep dengan pekerjaan
sehari-hari.
Contoh Aktivitas Dalam Pekerjaan
Sehari-hari:
1.Menatakerjakan catatan
berbagai situasi yang dapat
digunakan untuk meneliti
berbagai fakta mengenai
pemikiran strategis yang dibuat
oleh orang lain . Pola pikir apa
saja yang dapat dilihat? Apa yang
mereka pikirkan saat mereka
mengembangkan strategi-
strategi dimaksud.
2.Membaca berbagai strategi
perusahaan lain diberbagai
majalah bisnis atau buku.
Memikirkan seberapa baiknya
strategi dimaksud bila
diterapkan diperusahaannya.
3.Menganalisis berbagai produk
dan jasa perusahaannya dari
sudut pandang pelanggan.
4.Mempelajari sejarah
Perusahaannya. Mendiskusikan
dengan para pegawainya yang
telah lama bekerja tentang pa
yang telah terjadi dan mengapa
terjadi.
5.Mempelajari praktek unggulan
(benchmarking) dari berbagai
perusahaan lain.
6.Mempelajari strategi
perusahaan lain, memikirkan
berbagai ancaman dan peluang
yang potensial terhadapnya.
7.Mengembangkan tiga atau
empat tujuan utama, merinci
bagaimana kontribusinya bagi
efektivitas perusahaan terhadap
laba, pertumbuhan, kepuasan
pelanggan dan lain-lain.
8.Mengembangkan metodologi
untuk mengevaluasi situasi
eksternal. Mengembangkan
pendekatan baku untuk
memperoleh dan bereaksi
terhadap informasi baru tentang
perubahan industri yang
dinamis, apakah berasal dari
pelanggan, pemerintah, pesaing
atau sumber-sumber lain.
9.Mengantisipasi dampak
perubahan lingkungan bagi
perusahaannya. Membuat daftar
tentang perubahan-perubahan
yang mungkin terjadi terhadap
industri dan bagaimana
dampaknya terhadap produk
atau jasa perusahaan. Melakukan
penilaian tentang kemungkinan
setiap kejadian (rendah, sedang
atau tinggi) dan kerangka
waktunya. Menggunakan
informasi ini untuk
memprioritaskan strategi,
memfokuskan diri pada kejadian
yang memiliki dampak yang
paling signifikan terhadap
organisasi dan kemungkinan
terjadinya paling tinggi.

PERJANJIAN KERJA

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) diatur didalam UU No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenaga
Kerjaan dan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. KEP.100/MEN/VI/2004
tentang Ketentuan pelaksanaan
Perjanjian Kerja WaktuTertentu.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
dapat dibuat berdasarkan jangka
waktu yang berarti tidak
mempersoalkan apakah
pekerjaan itu bersifat tetap atau
tidak. Di lain pihak, ada pasal lain
dalam UU No.13/2003 (Pasal 59)
melarang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu untuk pekerjaan yang
bersifat tetap. Bahkan apabila
ketentuan terakhir ini dilanggar,
maka perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut akan berubah
secara otomatis menjadi
perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.
Ketidakpastian hukum
dalam masalah ini menjadi
persoalan yang sering muncul ke
permukaan karena pihak
pengusaha cenderung
mempekerjakan pekerjanya
dengan perjanjian kerja waktu
tertentu, sedangkan pekerja
lebih memilih perjanjian kerja
waktu tidak tertentu karena lebih
menjamin job security. Banyak
perusahaan yang memutuskan
hubungan kerja terhadap
pekerja tetap untuk kemudian
direkrut kembali dengan
perjanjian kerja waktu tertentu
(kontrak). Dalam situasi
demikian, pekerja tidak ada
pilihan lain kecuali menerima
tawaran itu.
Disamping itu, besarnya
perbedaan antara jumlah tenaga
kerja dengan kesempatan kerja,
mengakibatkan kesempatan
kerja menjadi sangat terbatas,
maka tenaga kerja saling berebut
dalam mencari pekerjaan.
Akibatnya pengusaha dalam
merekrut tenaga kerja kurang
memerhatikan hak dan
kesejahteraan pekerjanya. Sanksi
hukum untuk mengatur masalah
tenaga kerja serta kurangnya
pengawasan dari pemerintah
maka akan menimbulkan
perselisihan. Untuk mengatasi
perselisihan tersebut perlu
adanya suatu peraturan
perundang-undangan yang
memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum pada
tenaga kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.
Memang sebagai pembuktian
ada tidaknya hubungan kerja
antara Pekerja dengan
Pengusaha, hukum
mensyaratkan adanya perjanjian
kerja. Hal ini sebagaimana di atur
Pasal 50 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 yang menyatakan
"Hubungan kerja terjadi karena
adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/buruh".
Perjanjian Kerja ada 2 jenis,
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT), yang kemudian pada
prakteknya lebih dikenal dengan
"Pegawai Kontrak" dan
Perjanjian Kerja Waktu Tak
Tertentu (PKWTT) yang kemudian
dalam prakteknya diistilahkan
"diangkat, jadi pegawai tetap".
PKWT adalah perjanjian kerja
antara pekerja dengan
pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu
tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu. Sedangkan PKWTT
adalah perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan
kerja yang bersifat tetap.
Dua jenis perjanjian kerja di atas
masing-masing memiliki nuansa
yang berbeda dari sifat
pekerjaan yang dilakukannya.
PKWT hanya untuk sifat
pekerjaan tidak tetap, musiman
dan atau yang bersifat produk
cobaan, PKWT tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap, sedangkan PKWTT
mensyaratkan sifat pekerjaan
yang tetap.. Yang dimaksud
dengan Pekerjaan yang bersifat
tetap adalah pekerjaan yang
sifatnya terus menerus, tidak
terputus-putus,tidak dibatasin
waktu dan merupakan bagian
dari suatu proses produksi
dalam 1 perusahaan.
Terlepas dari ada atau tidak
adanya kriteria yang harus
dipenuhi dalam suatu kontrak
kerja, bagi sebagian kecil orang,
ada kalanya menjadi pekerja
kontrak merupakan pilihan.
Apalagi, hak-hak yang diterima
pekerja kontrak dianggap tidak
sebanding dengan kewajiban-
kewajiban yang dilaksanakannya.
Di Indonesia, perihal pekerja
kontrak, antara lain diatur dalam
UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. KEP.100/MEN/
VI/2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu. Dalam peraturan
perundang-undangan tersebut,
antara lain diatur kriteria dan
bagaimana PKWT dapat berubah
secara otomatis menjadi PKWTT.
Suatu PKWT hanya dapat dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai
atau sementara sifatnya,
b. pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan
paling lama tiga tahun,
c. pekerjaan yang bersifat
musiman atau
d. pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan
baru atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan
atau penjajakan.
PKWT untuk pekerjaan yang
sekali selesai atau sementara
sifatnya adalah PKWT yang
didasarkan atas selesainya
pekerjaan tertentu. PKWT
tersebut dibuat untuk paling
lama tiga tahun, kecuali jika
pekerjaan tersebut dapat
diselesaikan lebih cepat dari
yang diperjanjikan dan hal itu
harus dicantumkan batasannya.
Perjanjian kerja waktu tertentu
dapat diperpanjang atau
diperbaharui (ps.59 ayat 3)
dengan jangka waktu diadakan
untuk paling lama 2 (dua) tahun
dan hanya boleh diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun (ps.59
ayat 4).
Ketentuan tentang perpanjangan
dan pembaharuan perjanjian
kerja waktu tertentu ini tatacara
diatur dalam ayat 5 dan 6 ps.59
UU Ketenagakerjaan. Ayat 5
menyatakan bahwa Pengusaha
yang bermaksud
memperpanjang perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut, paling
lama 7 (tujuh) hari sebelum
perjanjian kerja waktu tertentu
berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis
kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan. Dan ayat 6 nya
menyebutkan bahwa pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu
hanya dapat diadakan setelah
melebihi masa tenggang waktu
30 (tiga puluh) hari berakhirnya
perjanjian kerja waktu tertentu
yang lama, pembaruan perjanjian
kerja waktu tertentu ini hanya
boleh dilakukan 1 (satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun.
Bila ketentuan dalam
perpanjangan dan pembaharuan
ini tidak dilakukan atau
dilanggar, maka akan berakibat
demi hukum perjanjian kerja
waktu tertentu (kontrak)
berubah menjadi perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (tetap/
kontrak permanen).
Apabila salah satu pihak
mengakhiri hubungan kerja
sebelum berakhirnya jangka
waktu yang ditetapkan dalam
PKWT, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena
pekerja meninggal dunia atau
adanya putusan Pengadilan dan/
atau putusan pengadilan atau
penetapan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka Pihak yang
mengakhiri hubungan kerja
tersebut WAJIB MEMBAYAR
GANTI RUGI kepada Pihak lainnya
sebesar upah Pekerja/buruh
sampai batas waktu
berakhirnyajangka waktu
perjanjian
Adapun pekerjaan yang bersifat
musiman adalah pekerjaan yang
pelaksanaannya bergantung
pada musim atau cuaca. PKWT
tersebut hanya dapat dilakukan
untuk satu jenis pekerjaan pada
musim tertentu. Selain itu,
pekerjaan-pekerjaan yang harus
dilakukan untuk memenuhi
pesanan atau target tertentu
dapat dilakukan dengan PKWT
sebagai pekerjaan musiman dan
hanya diberlakukan untuk
pekerja yang melakukan
pekerjaan tambahan. PKWT
tersebut tidak dapat dilakukan
pembaruan.
Sementara itu, PKWT pun dapat
dilakukan dengan pekerja untuk
melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk
baru, kegiatan baru atau produk
tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
PKWT dalam kriteria ini hanya
dapat dilakukan untuk jangka
waktu paling lama dua tahun
dan dapat diperpanjang untuk
satu kali paling lama satu tahun.
PKWT ini tidak dapat dilakukan
pembaruan. PKWT dimaksud
hanya boleh diberlakukan bagi
pekerja yang melakukan
pekerjaan di luar kegiatan atau
di luar pekerjaan yang biasa
dilakukan perusahaan.
PKWT harus dibuat secara tertulis
dengan menggunakan bahasa
Indonesia.
PKWT tidak mensyaratkan masa
percobaan dan apabila didalam
PKWT ada mensyaratkan masa
percobaan, maka masa
percobaan tersebut batal demi
hukum.
PKWT tidak dapat diadakan
untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. Yang dimaksud dengan
Pekerjaan yang bersifat tetap
adalah pekerjaan yang sifatnya
terus menerus, tidak terputus-
putus,tidak dibatasin waktu dan
merupakan bagian dari suatu
proses produksi dalam 1
perusahaan. Namun, dalam
praktiknya, suatu PKWT yang
dibuat oleh pengusaha dan
pekerja jarang ada yang
memperhatikan kriteria-kriteria
tersebut.
Sistem Buruh Kontrak adalah
Kebijakan Pro-imperialisme dan
Anti-Buruh
Dengan motif hakiki untuk
melayani kepentingan
imperialisme dan kelas kapitalis
dalam negeri (domestik),
pemerintah komprador Republik
Indonesia yang diwakili oleh klik
SBY-JK telah mengeluarkan paket
UU 13/2003. Undang-undang
yang anti-buruh ini segera
mendapat perlawanan hebat dari
kelas buruh Indonesia di mana
ratusan ribu buruh turun ke jalan
untuk menolaknya. Namun
perlawanan buruh tersebut
belum mampu menggagalkan UU
13/2003 yang secara diam-diam
telah menjadi acuan dari praktek
adanya sistem kerja buruh
kontrak dan outsourcing.
Bila kita membedah UU tersebut,
khususnya pada bab IX pasal 58
dan 59, perihal sistem kerja
kontrak dinyatakan secara tegas,
bahwa buruh Kontrak -- dalam
istilah UU 13/2003 disebut
sebagai PKWT (Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu) hanya dapat
dilaksanakan dengan ketentuan:
pekerjaan yang sementara
sifatnya, pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu paling lama 3
tahun, pekerjaan musiman; atau
pekerjaan yang berhubungan
dengan produk dan kegiatan
baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan
atau penjajakan. Intinya tidak
boleh ada sistem kerja kontrak
pada pekerjaan yang bersifat
tetap. Namun kenyataan faktual
di lapangan berjalan penuh
manipulasi. Majikan dan kaki
tangannya di pabrik yang penuh
trik-trik culas, telah
mempraktekkan berbagai
manipulasi sekian lama.

Minggu, 08 Mei 2011

UNDANG UNDANG NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang
a. bahwa pembangunan
nasional dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, yang
merata, baik materiil maupun
spiritual berdasarkan Pancasila
dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan nasional, tenaga
kerja mempunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting
sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan
peranan dan kedudukan tenaga
kerja, diperlukan pembangunan
ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga
kerja dan peransertanya dalam
pembangunan serta peningkatan
perlindungan tenaga kerja dan
keluarganya sesuai dengan
harkat dan martabat
kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan
terhadap tenaga kerja
dimaksudkan untuk menjamin
hak hak dasar pekerja/buruh
dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar
apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya dengan tetap
memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang
undang di bidang
ketenagakerjaan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan tuntutan
pembangunan ketenagakerjaan,
oleh karena itu perlu dicabut
dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana
tersebut pada huruf a, b, c, d, dan
e perlu membentuk Undang
undang tentang
Ketenagakerjaan;
Mengingat
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat
(2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
dan Pasal 33 ayat (1) Undang
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama
antara ;
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
UNDANG-UNDANG TENTANG
KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang undang ini yang
dimaksud dengan :
1. Ketenagakerjaan adalah
segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah
masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang
perseorangan, pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
5. Pengusaha adalah :
orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum
yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan
miliknya;
orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum
yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
setiap bentuk usaha yang
berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan
hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
usaha-usaha sosial dan usaha-
usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
7. Perencanaan tenaga kerja
adalah proses penyusunan
rencana ketenagakerjaan secara
sistematis yang dijadikan dasar
dan acuan dalam penyusunan
kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan
yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan
adalah gabungan, rangkaian, dan
analisis data yang berbentuk
angka yang telah diolah, naskah
dan dokumen yang mempunyai
arti, nilai dan makna tertentu
mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah
keseluruhan kegiatan untuk
memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta
mengembangkan kompetensi
kerja, produktivitas, disiplin,
sikap, dan etos kerja pada
tingkat keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan
jenjang dan kualifikasi jabatan
atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah
kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan
sikap kerja yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian
dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara terpadu
antara pelatihan di lembaga
pelatihan dengan bekerja secara
langsung di bawah bimbingan
dan pengawasan instruktur atau
pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di
perusahaan, dalam rangka
menguasai keterampilan atau
keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan
tenaga kerja adalah kegiatan
untuk mempertemukan tenaga
kerja dengan pemberi kerja,
sehingga tenaga kerja dapat
memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya, dan pemberi
kerja dapat memperoleh tenaga
kerja yang sesuai dengan
kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah
warga negara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di
wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat syarat
kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.
15. Hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja,
yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah
suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/
buruh, dan pemerintah yang
didasarkan pada nilai nilai
Pancasila dan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat
buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit
adalah forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan
yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/
serikat buruh yang sudah
tercatat instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama
tripartit adalah forum
komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan yang
anggotanya terdiri dari unsur
organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah.
20. Peraturan perusahaan
adalah peraturan yang dibuat
secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat syarat syarat kerja
dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama
adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat
syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah
tindakan pekerja/buruh yang
direncanakan dan dilaksanakan
secara bersama-sama dan/atau
oleh serikat pekerja/serikat
buruh untuk menghentikan atau
memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock
out) adalah tindakan pengusaha
untuk menolak pekerja/buruh
seluruhnya atau sebagian untuk
menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja
adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang
yang berumur dibawah 18
(delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu
antara pukul 06.00 sampai
dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu
selama 24 (dua puluh empat)
jam.
29. Seminggu adalah waktu
selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/
buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang
undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh
adalah suatu pemenuhan
kebutuhan dan/atau keperluan
yang bersifat jasmaniah dan
rohaniah, baik di dalam maupun
di luar hubungan kerja, yang
secara langsung atau tidak
langsung dapat mempertinggi
produktivitas kerja dalam
lingkungan kerja yang aman dan
sehat.
32. Pengawasan
ketenagakerjaan adalah kegiatan
mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan
perundang undangan di bidang
ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan
berlandaskan Pancasila dan
Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan
diselenggarakan atas asas
keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas
sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan
bertujuan :
a. memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja
secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan
kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan
daerah;
c. memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN
YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki
kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh perlakuan yang
sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA
DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
1. Dalam rangka
pembangunan ketenagakerjaan,
pemerintah menetapkan
kebijakan dan menyusun
perencanaan tenaga kerja.
2. Perencanaan tenaga kerja
meliputi :
perencanaan tenaga kerja
makro; dan
perencanaan tenaga kerja mikro.
3. Dalam penyusunan
kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan
yang berkesinambungan,
pemerintah harus berpedoman
pada perencanaan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 8
1. Perencanaan tenaga kerja
disusun atas dasar informasi
ketenagakerjaan yang antara lain
meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk
kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan
kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
2. Informasi ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diperoleh dari semua
pihak yang terkait, baik instansi
pemerintah maupun swasta.
3. Ketentuan mengenai tata
cara memperoleh informasi
ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan
perencanaan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan
dan diarahkan untuk membekali,
meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi
kerja guna meningkatkan
kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.
Pasal 10
1. Pelatihan kerja
dilaksanakan dengan
memperhatikan kebutuhan pasar
kerja dan dunia usaha, baik di
dalam maupun di luar hubungan
kerja.
2. Pelatihan kerja
diselenggarakan berdasarkan
program pelatihan yang
mengacu pada standar
kompetensi kerja.
3. Pelatihan kerja dapat
dilakukan secara berjenjang.
4. Ketentuan mengenai tata
cara penetapan standar
kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk
memperoleh dan/atau
meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi
kerja sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya melalui
pelatihan kerja.
Pasal 12
1. Pengusaha bertanggung
jawab atas peningkatan dan/
atau pengembangan kompetensi
pekerjanya melalui pelatihan
kerja.
2. Peningkatan dan/atau
pengembangan kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diwajibkan bagi
pengusaha yang memenuhi
persyaratan yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
3. Setiap pekerja/buruh
memiliki kesempatan yang sama
untuk mengikuti pelatihan kerja
sesuai dengan bi-dang tugasnya.
Pasal 13
1. Pelatihan kerja
diselenggarakan oleh lembaga
pelatihan kerja pemerintah dan/
atau lembaga pelatihan kerja
swasta.
2. Pelatihan kerja dapat
diselenggarakan di tempat
pelatihan atau tempat kerja.
3. Lembaga pelatihan kerja
pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pe-latihan
kerja dapat bekerja sama dengan
swasta.
Pasal 14
1. Lembaga pelatihan kerja
swasta dapat berbentuk badan
hukum Indonesia atau
perorangan.
2. Lembaga pelatihan kerja
swasta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memperoleh
izin atau men daftar ke instansi
yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
3. Lembaga pelatihan kerja
yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah
mendaftarkan kegiatannya
kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/
kota.
4. Ketentuan mengenai tata
cara perizinan dan pendaftaran
lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja
wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga
kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang
sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan
prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi
kelangsungan kegiatan
penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
1. Lembaga pelatihan kerja
swasta yang telah memperoleh
izin dan lembaga pelatihan kerja
pemerintah yang telah terdaftar
dapat memperoleh akreditasi
dari lembaga akreditasi.
2. Lembaga akreditasi
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) bersifat independen
terdiri atas unsur masya rakat
dan pemerintah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
3. Organisasi dan tata kerja
lembaga akreditasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Kepu tusan Menteri.
Pasal 17
1. Instansi yang bertanggung
jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/
kota dapat menghentikan seme
ntara pelaksanaan
penyelenggaraan pelatihan kerja,
apabila dalam pelaksanaannya
ternyata :
tidak sesuai dengan arah
pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9; dan/
atau
tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
2. Penghentian sementara
pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), disertai
alasan dan saran perbaikan dan
berlaku paling lama 6 (enam)
bulan.
3. Penghentian sementara
pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja hanya dikenakan
terhadap program pelatihan
yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 dan Pasal 15.
4. Bagi penyelenggara
pelatihan kerja dalam waktu 6
(enam) bulan tidak memenuhi
dan melengkapi saran per baikan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dikenakan sanksi
penghentian program pelatihan.
5. Penyelenggara pelatihan
kerja yang tidak menaati dan
tetap melaksanakan program
pelatihan kerja yang telah
dihentikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4)
dikenakan sanksi pencabutan
izin dan pembatalan pendaftaran
penyelenggara pelatihan.
6. Ketentuan mengenai tata
cara penghentian sementara,
penghentian, pencabutan izin,
dan pembatalan pen daftaran
diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 18
1. Tenaga kerja berhak
memperoleh pengakuan
kompetensi kerja setelah
mengikuti pelatihan kerja yang di
selenggarakan lembaga
pelatihan kerja pemerintah,
lembaga pelatihan kerja swasta,
atau pelatihan di tempat kerja.
2. Pengakuan kompetensi
kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan melalui
sertifikasi kompe tensi kerja.
3. Sertifikasi kompetensi kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat pula diikuti oleh
tenaga kerja yang telah
berpengalaman.
4. Untuk melaksanakan
sertifikasi kompetensi kerja
dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang inde
penden.
5. Pembentukan badan
nasional sertifikasi profesi yang
independen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja
penyandang cacat dilaksanakan
dengan memperhatikan jenis,
derajat kecacatan, dan
kemampuan tenaga kerja
penyandang cacat yang
bersangkutan.
Pasal 20
1. Untuk mendukung
peningkatan pelatihan kerja
dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembang kan
satu sistem pelatihan kerja
nasional yang merupakan acuan
pelaksanaan pelatihan kerja di
semua bidang dan/atau sektor.
2. Ketentuan mengenai
bentuk, mekanisme, dan
kelembagaan sistem pelatihan
kerja nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat
diselenggarakan dengan sistem
pemagangan.
Pasal 22
1. Pemagangan dilaksanakan
atas dasar perjanjian
pemagangan antara peserta
dengan pengusaha yang di buat
secara tertulis.
2. Perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan
kewajiban peserta dan
pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
3. Pemagangan yang
diselenggarakan tidak melalui
perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dianggap tidak sah dan
status peserta berubah menjadi
pekerja/buruh perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah
mengikuti program pemagangan
berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari
perusahaan atau lembaga
sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan
di perusahaan sendiri atau di
tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan
lain, baik di dalam maupun di
luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
1. Pemagangan yang
dilakukan di luar wilayah
Indonesia wajib mendapat izin
dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
2. Untuk memperoleh izin
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus ber bentuk
badan hukum Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Ketentuan mengenai tata
cara perizinan pemagangan di
luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
1. Penyelenggaraan
pemagangan di luar wilayah
Indonesia harus
memperhatikan :
harkat dan martabat bangsa
Indonesia;
penguasaan kompetensi yang
lebih tinggi; dan
perlindungan dan kesejahteraan
peserta pemagangan, termasuk
melaksanakan ibadahnya.
2. Menteri atau pejabat yang
ditunjuk dapat menghentikan
pelaksanaan pemagangan di luar
wilayah Indo nesia apabila di
dalam pelaksanaannya ternyata
tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 27
1. Menteri dapat mewajibkan
kepada perusahaan yang
memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program
pemagangan.
2. Dalam menetapkan
persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Menteri
harus memperhatikan ke
pentingan perusahaan,
masyarakat, dan negara.
Pasal 28
1. Untuk memberikan saran
dan pertimbangan dalam
penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pela tihan
kerja dan pemagangan dibentuk
lembaga koordinasi pelatihan
kerja nasional.
2. Pembentukan,
keanggotaan, dan tata kerja
lembaga koordinasi pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud da
lam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 29
1. Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan pelatihan kerja dan
pemagangan.
2. Pembinaan pelatihan kerja
dan pemagangan ditujukan ke
arah peningkatan relevansi,
kualitas, dan efisien si
penyelenggaraan pelatihan kerja
dan produktivitas.
3. Peningkatan produktivitas
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan buda ya
produktif, etos kerja, teknologi,
dan efisiensi kegiatan ekonomi,
menuju terwujudnya
produktivitas nasional.
Pasal 30
1. Untuk meningkatkan
produktivitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga pro duktivitas
yang bersifat nasional.
2. Lembaga produktivitas
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan
peningkatan produktivitas, yang
bersifat lintas sektor maupun
daerah.
3. Pembentukan,
keanggotaan, dan tata kerja
lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai
hak dan kesempatan yang sama
untuk memilih, mendapatkan,
atau pindah pekerjaan dan
memperoleh penghasilan yang
layak di dalam atau di luar negeri.
Pasal 32
1. Penempatan tenaga kerja
dilaksanakan berdasarkan asas
terbuka, bebas, obyektif, serta
adil, dan setara tanpa
diskriminasi.
2. Penempatan tenaga kerja
diarahkan untuk menempatkan
tenaga kerja pada jabatan yang
tepat sesuai de ngan keahlian,
keterampilan, bakat, minat, dan
kemampuan dengan
memperhatikan harkat, martabat,
hak asasi, dan perlindungan
hukum.
3. Penempatan tenaga kerja
dilaksanakan dengan
memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penye
diaan tenaga kerja sesuai
dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri
dari :
a. penempatan tenaga kerja
di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja
di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai
penempatan tenaga kerja di luar
negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur
dengan undang-undang.
Pasal 35
1. Pemberi kerja yang
memerlukan tenaga kerja dapat
merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui
pelaksana penempatan tenaga
kerja.
2. Pelaksana penempatan
tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib
memberikan perlindu ngan sejak
rekrutmen sampai penempatan
tenaga kerja
3. Pemberi kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dalam mempekerjakan
tenaga kerja wajib memberi kan
perlindungan yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan, dan
kesehatan baik mental maupun
fisik tenaga kerja.
Pasal 36
1. Penempatan tenaga kerja
oleh pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
dilakukan dengan memberikan
pelayanan penempatan tenaga
kerja.
2. Pelayanan penempatan
tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem
penempatan tenaga kerja yang
meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan
tenaga kerja.
3. Unsur-unsur sistem
penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat dilaksanakan
secara terpisah yang ditujukan
untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
Pasal 37
1. Pelaksana penempatan
tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang
ketenaga-kerjaan; dan
lembaga swasta berbadan
hukum.
2. Lembaga penempatan
tenaga kerja swasta
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b dalam melak
sanakan pelayanan penempatan
tenaga kerja wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 38
1. Pelaksana penempatan
tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut
biaya penempatan, baik
langsung maupun tidak
langsung, sebagian atau
keseluruhan kepada tenaga kerja
dan pengguna tenaga kerja.
2. Lembaga penempatan
tenaga kerja swasta
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya
dapat memungut biaya
penempatan tenaga kerja dari
pengguna tenaga kerja dan dari
tenaga kerja golongan dan
jabatan tertentu.
3. Golongan dan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
1. Pemerintah bertanggung
jawab mengupayakan perluasan
kesempatan kerja baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja.
2. Pemerintah dan
masyarakat bersama-sama
mengupayakan perluasan
kesempatan kerja baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja.
3. Semua kebijakan
pemerintah baik pusat maupun
daerah di setiap sektor
diarahkan untuk mewujudkan
per luasan kesempatan kerja
baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
4. Lembaga keuangan baik
perbankan maupun non
perbankan, dan dunia usaha
perlu membantu dan mem
berikan kemudahan bagi setiap
kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau
mengembangkan perluasan
kesempatan kerja.
Pasal 40
1. Perluasan kesempatan
kerja di luar hubungan kerja
dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan
berkelanjutan dengan
mendayagunakan potensi
sumber daya alam, sumber daya
manusia dan teknologi tepat
guna.
2. Penciptaan perluasan
kesempatan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan pola
pembentukan dan pembinaan
tenaga kerja mandiri, penerapan
sistem padat karya, penerapan
teknologi tepat guna, dan
pendayagunaan tenaga kerja
sukarela atau pola lain yang
dapat mendorong terciptanya
perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
1. Pemerintah menetapkan
kebijakan ketenagakerjaan dan
perluasan kesempatan kerja.
2. Pemerintah dan
masyarakat bersama-sama
mengawasi pelaksanaan
kebijakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
3. Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat dibentuk badan
koordinasi yang beranggotakan
unsur pemerintah dan unsur
masyarakat.
4. Ketentuan mengenai
perluasan kesempatan kerja, dan
pembentukan badan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3)
dalam pasal ini diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA
ASING
Pasal 42
1. Setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki izin tertulis
dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
2. Pemberi kerja orang
perseorangan dilarang
mempekerjakan tenaga kerja
asing.
3. Kewajiban memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang
mempergunakan tenaga kerja
asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
4. Tenaga kerja asing dapat
dipekerjakan di Indonesia hanya
dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu
tertentu.
5. Ketentuan mengenai
jabatan tertentu dan waktu
tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
6. Tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) yang masa kerjanya
habis dan tidak dapat di
perpanjang dapat digantikan
oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
1. Pemberi kerja yang
menggunakan tenaga kerja
asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing
yang disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
2. Rencana penggunaan
tenaga kerja asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya me muat
keterangan :
alasan penggunaan tenaga kerja
asing;
jabatan dan/atau kedudukan
tenaga kerja asing dalam
struktur organisasi perusahaan
yang bersangkutan;
jangka waktu penggunaan
tenaga kerja asing; dan
penunjukan tenaga kerja warga
negara Indonesia sebagai
pendamping tenaga kerja asing
yang dipekerjakan.
3. Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pemerintah,
badan-badan internasional dan
perwakilan negara asing.
4. Ketentuan mengenai tata
cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputu san
Menteri.
Pasal 44
1. Pemberi kerja tenaga kerja
asing wajib menaati ketentuan
mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku.
2. Ketentuan mengenai
jabatan dan standar kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 45
1. Pemberi kerja tenaga kerja
asing wajib :
menunjuk tenaga kerja warga
negara Indonesia sebagai tenaga
pendamping tenaga kerja asing
yang dipekerjakan untuk alih
teknologi dan alih keahlian dari
tenaga kerja asing; dan
melaksanakan pendidikan dan
pelatihan kerja bagi tenaga kerja
Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang
sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja
asing.
2. Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kerja asing
yang menduduki ja batan direksi
dan/atau komisaris.
Pasal 46
1. Tenaga kerja asing
dilarang menduduki jabatan
yang mengurusi personalia dan/
atau jabatan-jabatan ter tentu.
2. Jabatan-jabatan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan
Menteri
Pasal 47
1. Pemberi kerja wajib
membayar kompensasi atas
setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
2. Kewajiban membayar
kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pe
merintah, perwakilan negara
asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial,
lembaga keagamaan, dan
jabatan-jabatan tertentu di
lembaga pendidikan.
3. Ketentuan mengenai
jabatan-jabatan tertentu di
lembaga pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
4. Ketentuan mengenai
besarnya kompensasi dan
penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memulangkan
tenaga kerja asing ke negara
asalnya setelah hubungan
kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan mengenai
penggunaan tenaga kerja asing
serta pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan tenaga kerja
pendamping diatur dengan
Keputusan Presiden.