Senin, 09 Mei 2011

KEP 231 MEN 2003 TENTANG PELAKSANAAN PENANGGUAN UPAH MINIMUM

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 231 /MEN/2003
TENTANG
TATA CARA PENANGGUHAN
PELAKSANAAN UPAH MINIMUM
MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa sebagai
pelaksanaan Pasal 90
ayat (2) dan (3)
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan, perlu
diatur mengenai tata
cara penangguhan
pelaksanaan upah
minimum;
b. bahwa berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana tersebut
pada huruf a, perlu
ditetapkan dengan
Keputusan Menteri;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 3
Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang
Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik
Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 80
Tahun 1957 tentang
Persetujuan Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional No.
100 mengenai Pengupahan
yang Sama Bagi Buruh Laki-laki
dan Wanita untuk Pekerjaan
yang Sama Nilainya (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 171
dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 2153);
3. Undang-undang Nomor 7
Tahun 1981 tentang Wajib
Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 3201);
4. Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
3839);
5. Undang-undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
(Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4279);
7. Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54);
8. Keputusan Presiden Nomor
228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong
Royong.
Memperhatikan:
1. Pokok-pokok Pikiran
Sekretariat Lembaga
Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 31 Juli
2003;
2. Kesepakatan Rapat
Pleno Lembaga
Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 9
Oktober 2003;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG
TATA CARA PENANGGUHAN
PELAKSANAAN UPAH MINIMUM.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini
yang dimaksud dengan :
1. Upah minimum adalah
upah minimum yang ditetapkan
oleh Gubernur.
2. Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan,
persekutuan, atau
badan hukum yang
menjalankan suatu
perusahaan milik
sendiri;
b. orang perseorangan,
persekutuan atau
badan hukum yang
secara berdiri sendiri
menjalankan
perusahaan bukan
miliknya;
c. orang perseorangan,
persekutuan atau
badan hukum yang
berada di Indonesia
mewakili perusahaan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf
a dan b yang
berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh
adalah organisasi yang dibentuk
dari, oleh, dan untuk pekerja/
buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka
mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela
serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya.
Pasal 2
(1) Pengusaha dilarang
membayar upah pekerja lebih
rendah dari upah minimum.
(2) Dalam hal pengusaha tidak
mampu membayar upah
minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan
penangguhan pelaksanaan upah
minimum.
Pasal 3
(1) Permohonan
penangguhan pelaksanaan upah
minimum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (2)
diajukan oleh pengusaha
kepada Gubernur melalui
Instansi yang bertanggung
jawab di bidang
ketenagakerjaan Provinsi paling
lambat 10 (sepuluh) hari
sebelum tanggal berlakunya
upah minimum.
(2) Permohonan
penangguhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas kesepakatan
tertulis antara pengusaha
dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh
yang tercatat.
(3) Dalam hal di perusahaan
terdapat 1 (satu) Serikat
Pekerja /Serikat Buruh yang
memiliki anggota lebih 50 %
dari seluruh pekerja di
perusahaan , maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan untuk menyepakati
penangguhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Dalam hal di satu
perusahaan terdapat lebih dari 1
(satu) Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, maka yang berhak
mewakili pekerja/buruh
melakukan perundingan untuk
menyepakati penangguhan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) adalah Serikat Pekerja/
Serikat Buruh yang memiliki
anggota lebih dari 50 % (lima
puluh perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut.
(5) Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja /serikat buruh
dapat melakukan koalisi
sehingga tercapai jumlah lebih
dari 50 % (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja / buruh di perusahaan
tersebut untuk mewakili
perundingan dalam
menyepakati penangguhan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(6) Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) atau ayat (5) tidak
terpenuhi, maka para pekerja/
buruh dan serikat pekerja/
serikat buruh membentuk tim
perunding yang
keanggotaannya ditentukan
secara proporsional
berdasarkan jumlah pekerja/
buruh dan anggota masing
masing serikat pekerja/serikat
buruh.
(7) Dalam hal di perusahaan
belum terbentuk serikat pekerja/
serikat buruh, maka
perundingan untuk menyepakati
penangguhan pelaksanaan upah
minimum dibuat antara
pengusaha dengan pekerja/
buruh yang mendapat mandat
untuk mewakili lebih dari 50 %
(lima puluh perseratus)
penerima upah minimum di
perusahaan.
(8) Kesepakatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dilakukan melalui
perundingan secara mendalam,
jujur, dan terbuka.
Pasal 4
(1) Permohonan penangguhan
pelaksanaan upah minimum
harus disertai dengan :
a. naskah asli
kesepakatan tertulis
antara pengusaha
dengan serikat
pekerja/serikat buruh
atau pekerja/buruh
perusahaan yang
bersangkutan;
b. laporan keuangan
perusahaan yang
terdiri dari neraca,
perhitungan rugi/laba
beserta penjelasan-
penjelasan untuk 2
(dua) tahun terakhir;
c. salinan akte pendirian
perusahaan;
d. data upah menurut
jabatan pekerja/buruh;
e. jumlah pekerja/buruh
seluruhnya dan jumlah
pekerja/buruh yang
dimohonkan
penangguhan
pelaksanaan upah
minimum;
f. perkembangan
produksi dan
pemasaran selama 2
(dua) tahun terakhir,
serta rencana produksi
dan pemasaran untuk
2 (dua) tahun yang
akan datang;
(2) Dalam hal perusahaan
berbadan hukum laporan
keuangan perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b harus sudah
diaudit oleh akuntan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar