Minggu, 08 Mei 2011

Pasal 21
Pelatihan kerja dapat
diselenggarakan dengan sistem
pemagangan.
Pasal 22
1. Pemagangan dilaksanakan
atas dasar perjanjian
pemagangan antara peserta
dengan pengusaha yang di buat
secara tertulis.
2. Perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan
kewajiban peserta dan
pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
3. Pemagangan yang
diselenggarakan tidak melalui
perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dianggap tidak sah dan
status peserta berubah menjadi
pekerja/buruh perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah
mengikuti program pemagangan
berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari
perusahaan atau lembaga
sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan
di perusahaan sendiri atau di
tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan
lain, baik di dalam maupun di
luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
1. Pemagangan yang
dilakukan di luar wilayah
Indonesia wajib mendapat izin
dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
2. Untuk memperoleh izin
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus ber bentuk
badan hukum Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Ketentuan mengenai tata
cara perizinan pemagangan di
luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
1. Penyelenggaraan
pemagangan di luar wilayah
Indonesia harus
memperhatikan :
harkat dan martabat bangsa
Indonesia;
penguasaan kompetensi yang
lebih tinggi; dan
perlindungan dan kesejahteraan
peserta pemagangan, termasuk
melaksanakan ibadahnya.
2. Menteri atau pejabat yang
ditunjuk dapat menghentikan
pelaksanaan pemagangan di luar
wilayah Indo nesia apabila di
dalam pelaksanaannya ternyata
tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 27
1. Menteri dapat mewajibkan
kepada perusahaan yang
memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program
pemagangan.
2. Dalam menetapkan
persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Menteri
harus memperhatikan ke
pentingan perusahaan,
masyarakat, dan negara.
Pasal 28
1. Untuk memberikan saran
dan pertimbangan dalam
penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pela tihan
kerja dan pemagangan dibentuk
lembaga koordinasi pelatihan
kerja nasional.
2. Pembentukan,
keanggotaan, dan tata kerja
lembaga koordinasi pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud da
lam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 29
1. Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan pelatihan kerja dan
pemagangan.
2. Pembinaan pelatihan kerja
dan pemagangan ditujukan ke
arah peningkatan relevansi,
kualitas, dan efisien si
penyelenggaraan pelatihan kerja
dan produktivitas.
3. Peningkatan produktivitas
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan buda ya
produktif, etos kerja, teknologi,
dan efisiensi kegiatan ekonomi,
menuju terwujudnya
produktivitas nasional.
Pasal 30
1. Untuk meningkatkan
produktivitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga pro duktivitas
yang bersifat nasional.
2. Lembaga produktivitas
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan
peningkatan produktivitas, yang
bersifat lintas sektor maupun
daerah.
3. Pembentukan,
keanggotaan, dan tata kerja
lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai
hak dan kesempatan yang sama
untuk memilih, mendapatkan,
atau pindah pekerjaan dan
memperoleh penghasilan yang
layak di dalam atau di luar negeri.
Pasal 32
1. Penempatan tenaga kerja
dilaksanakan berdasarkan asas
terbuka, bebas, obyektif, serta
adil, dan setara tanpa
diskriminasi.
2. Penempatan tenaga kerja
diarahkan untuk menempatkan
tenaga kerja pada jabatan yang
tepat sesuai de ngan keahlian,
keterampilan, bakat, minat, dan
kemampuan dengan
memperhatikan harkat, martabat,
hak asasi, dan perlindungan
hukum.
3. Penempatan tenaga kerja
dilaksanakan dengan
memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penye
diaan tenaga kerja sesuai
dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri
dari :
a. penempatan tenaga kerja
di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja
di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai
penempatan tenaga kerja di luar
negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur
dengan undang-undang.
Pasal 35
1. Pemberi kerja yang
memerlukan tenaga kerja dapat
merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui
pelaksana penempatan tenaga
kerja.
2. Pelaksana penempatan
tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib
memberikan perlindu ngan sejak
rekrutmen sampai penempatan
tenaga kerja
3. Pemberi kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dalam mempekerjakan
tenaga kerja wajib memberi kan
perlindungan yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan, dan
kesehatan baik mental maupun
fisik tenaga kerja.
Pasal 36
1. Penempatan tenaga kerja
oleh pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
dilakukan dengan memberikan
pelayanan penempatan tenaga
kerja.
2. Pelayanan penempatan
tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem
penempatan tenaga kerja yang
meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan
tenaga kerja.
3. Unsur-unsur sistem
penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat dilaksanakan
secara terpisah yang ditujukan
untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
Pasal 37
1. Pelaksana penempatan
tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang
ketenaga-kerjaan; dan
lembaga swasta berbadan
hukum.
2. Lembaga penempatan
tenaga kerja swasta
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b dalam melak
sanakan pelayanan penempatan
tenaga kerja wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 38
1. Pelaksana penempatan
tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut
biaya penempatan, baik
langsung maupun tidak
langsung, sebagian atau
keseluruhan kepada tenaga kerja
dan pengguna tenaga kerja.
2. Lembaga penempatan
tenaga kerja swasta
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya
dapat memungut biaya
penempatan tenaga kerja dari
pengguna tenaga kerja dan dari
tenaga kerja golongan dan
jabatan tertentu.
3. Golongan dan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar