Minggu, 08 Mei 2011

Pasal 93
1. Upah tidak dibayar
apabila pekerja/buruh tidak
melakukan pekerjaan.
2. Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga
tidak dapat melakukan
pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan
yang sakit pada hari pertama
dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk
bekerja karena pekerja/buruh
menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan
anaknya, isteri melahirkan atau
keguguran kandungan, suami
atau isteri atau anak atau
menantu atau orang tua atau
mertua atau anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal
dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena
sedang menjalankan kewajiban
terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena
menjalan-kan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia
melakukan pekerjaan yang telah
dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena
kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat
dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan
hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan
tugas serikat pekerja/serikat
buruh atas persetujuan
pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan
tugas pendidikan dari
perusahaan.
3. Upah yang dibayarkan
kepada pekerja/buruh yang
sakit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a sebagai
berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan
pertama, dibayar 100% (seratus
perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan
kedua, dibayar 75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan
ketiga, dibayar 50% (lima puluh
perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya
dibayar 25% (dua puluh lima
perseratus) dari upah sebelum
pemutusan hubungan kerja
dilakukan oleh pengusaha.
4. Upah yang dibayarkan
kepada pekerja/buruh yang
tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf c sebagai
berikut :
a. pekerja/buruh menikah,
dibayar untuk selama 3 (tiga)
hari;
b. menikahkan anaknya,
dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
c. mengkhitankan anaknya,
dibayar untuk selama 2 (dua)
hari
d. membaptiskan anaknya,
dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
e. isteri melahirkan atau
keguguran kandungan, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/
mertua atau anak atau menantu
meninggal dunia, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam
satu rumah meninggal dunia,
dibayar untuk selama 1 (satu)
hari.
5. Pengaturan pelaksanaan
ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
Dalam hal komponen upah
terdiri dari upah pokok dan
tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit-dikitnya 75
% (tujuh puluh lima perseratus)
dari jumlah upah pokok dan
tunjangan tetap.
Pasal 95
1. Pelanggaran yang
dilakukan oleh pekerja/buruh
karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan
denda.
2. Pengusaha yang karena
kesengajaan atau kelalaiannya
mengakibatkan keterlambatan
pembayaran upah, dikenakan
denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/
buruh.
3. Pemerintah mengatur
pengenaan denda kepada
pengusaha dan/atau pekerja/
buruh, dalam pembayaran upah.
4. Dalam hal perusahaan
dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang
didahulukan pem-bayarannya.
Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah
pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi
kadaluwarsa setelah melampaui
jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak timbulnya hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai
penghasilan yang layak,
kebijakan pengupahan,
kebutuhan hidup layak, dan
perlindungan pengupahan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88, penetapan upah
minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89, dan
pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
1. Untuk memberikan saran,
pertimbangan, dan merumuskan
kebijakan pengupahan yang
akan ditetapkan oleh
pemerintah, serta untuk
pengembangan sistem
pengupahan nasional dibentuk
Dewan Pengupahan Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
2. Keanggotaan Dewan
Pengupahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terdiri
dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, serikat
pekerja/-serikat buruh,
perguruan tinggi, dan pakar.
3. Keanggotaan Dewan
Pengupahan tingkat Nasional
diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden, sedangkan
keanggotaan Dewan
Pengupahan Provinsi,
Kabupaten/Kota diangkat dan
diberhentikan oleh Gubenur/
Bupati/Walikota.
4. Ketentuan mengenai tata
cara pembentukan, komposisi
keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan
pemberhentian keanggotaan,
serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
1. Setiap pekerja/buruh dan
keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.
2. Jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 100
1. Untuk meningkatkan
kesejahteraan bagi pekerja/
buruh dan keluarganya,
pengusaha wajib menyediakan
fasilitas kesejahteraan.
2. Penyediaan fasilitas
kesejahteraan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilak­
sanakan dengan
memperhatikan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan.
3. Ketentuan mengenai jenis
dan kriteria fasilitas
kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan
ukuran kemampuan perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
1. Untuk meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh,
dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di
perusahaan.
2. Pemerintah, pengusaha,
dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh berupaya
menumbuhkembangkan
koperasi pekerja/buruh, dan
mengembangkan usaha
produktif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
3. Pembentukan koperasi
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Upaya-upaya untuk
menumbuhkembangkan
koperasi pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar