Rabu, 20 Juli 2011

JAMINAN SOSIAL RUU BPJS Langgar UUD dan Etis NAN SOSIAL RUU BPJS Langgar UUD dan Etis

JAMINAN SOSIAL
RUU BPJS Langgar UUD dan Etis
Hukum
Kamis, 21 Juli 2011
JAKARTA (Suara Karya): Kalangan
buruh mengingatkan bahwa DPR
dan pemerintah harus menunda
pembahasan rancangan
Undang-Undang tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
(RUU BPJS). Dalam hal ini, DPR
dan pemerintah harus
menunggu hasil keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait
permintaan pengujian/
pengkajian ulang (judicial
review) UU Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) merupakan
payung hukum RUU BPJS.
Di sisi lain, buruh/pekerja juga
meminta DPR dan pemerintah
mengubah draf RUU BPJS yang
ada saat ini. Ini dikarenakan
RUU BPJS yang sdang dibahas
saat ini justru bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945.
"Secara etis hukum, parlemen
tidak boleh membahas UU
turunan jika UU payungnya
masih diuji di Mahkamah
Konstitusi," kata Ketua Umum
Federasi Serikat Buruh Setia
Kawan Saut Aritonang di
Jakarta, kemarin.
Menurut dia, pembahasan RUU
BPJS tidak mungkin
dilanjutkan mengingat UU SJSN
masih diuji/dikaji ulang oleh
MK atas gugatan masyarakat,
khususnya terkait Pasal 17 UU
SJSN yang menyebutkan rakyat
yang menjadi peserta jaminan
sosial akan dikenakan premi
asuransi. Padahal, UUD 1945,
khususnya pada Pasal 28,
menyatakan, setiap orang
berhak atas jaminan sosial
yang dikembangkan oleh
negara.
"Ini berarti menjadi kewajiban
negara membiayai jaminan
sosial bagi seluruh rakyat. Jadi,
pemerintah jangan melepas
tanggung jawab kepada
masyarakat. Karena itu, jika
RUU BPJS tetap dipaksakan, ini
berarti berbenturan dengan
amanat konstitusi," tuturnya.
Saut lantas mengingatkan
implikasi yang terjadi jika
pembahasan RUU BPJS terus
dilaksanakan. Selain
bertentangan dengan UUD
1945, juga melawan
sistematika hukum. Ini
mengingat masih terdapat
keraguan terhadap UU SJSN
dalam sistem konstitusi
negara.
Karena itu, draf RUU BPJS yang
ada saat ini mesti direvisi.
Apalagi memang dalam proses
pembahasan draf RUU BPJS
yang ada saat ini tidak
melibatkan sebagian besar
pemangku kepentingan.
"Misalnya dari 87 organisasi
serikat pekerja/buruh, DPR
dan pemerintah hanya
melibatkan tiga organisasi.
Apalagi, katanya juga tidak
melibatkan BUMN jaminan
sosial yang ada saat ini,"
ujarnya.
Lebih jauh Saut mengatakan,
selama ini operasional empat
BUMN jaminan sosial, seperti
PT Jamsostek, PT Taspen, PT
Asabri, dan PT Askes,
merupakan kontribusi dari
buruh/pekerja, PNS, dan TNI/
Polri. Artinya, dana yang
dikelola di empat BUMN
tersebut bukan milik negara/
pemerintah.
"Dana yang ada di Jamsostek
dan BUMN jaminan sosial
lainnya merupakan murni hasil
keringat para pekerja dan
pegawai serta TNI/Polri yang
dikumpulkan dan
dikembangkan. Jadi, tidak bisa
dicampuradukkan dengan
kewajiban negara untuk
memberikan jaminan sosial
kepada masyarakat secara
umum," ujarnya.
Sementara itu, dari Surabaya
dilaporkan, buruh/ pekerja
dari berbagai kota di Jawa
Timur menggelar aksi unjuk
rasa menentang pengesahan
RUU BPJS. Mereka yang
tergabung dalam DPD Serikat
Pekerja Nasional (SPN) Jatim
mengkhawatirkan
penggabungan empat BUMN
jaminan sosial seperti yang
tertuang dalam draf RUU BPJS
itu akan menghilangkan uang
simpanan buruh/pekerja di
Jamsostek. Aksi di Surabaya ini
digelar di depan Kantor
Gubernur dan gedung DPRD
Jatim, Rabu (20/7).
"Kalau RUU ini benar-benar
disahkan, kami sepakat akan
segera menarik seluruh dana
jaminan hari tua (JHT) yang
ada di Jamsostek," ujar Ketua
DPD SPN Jatim Sudarmadji.
Menurut dia, penggabungan
empat BUMN jaminan sosial itu
merupakan akal-akalan
pemerintah dan DPR untuk
melemparkan tanggung jawab
menyelenggarakan jaminan
sosial bagi masyarakat. Untuk
itu, kalangan buruh/pekerja
mendesak agar empat BUMN
tetap dipertahankan. Apalagi,
PT Jamsostek didirikan
mengacu pada UU Nomor 3
Tahun 1992 tentang
Jamsostek yang belum dicabut.
"Pemerintah lebih baik
membentuk BPJS baru untuk
rakyat miskin, pengangguran,
dan anak-anak telantar
dengan mekanisme iuran
ditanggung pemerintah,"
tuturnya di depan massa
buruh yang datang dari
Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto,
Jombang, Gresik, dan Surabaya
ini. (Andrian/Andira)