Minggu, 15 Juli 2012

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PROGRAM JAMINAN KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya, perlu adanya program yang menjamin dipenuhinya hak-hak pekerja/ buruh melalui penghimpunan dana cadangan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, perlu menetapkan Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja dengan Peraturan Pemerintah; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477) ; 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PROGRAM JAMINAN KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja adalah program yang memberikan jaminan perlindungan terhadap hak pekerja/buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja. 2. Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 3. Perusahaan adalah : a. setiap bentuk badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 4. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 5. Penyelenggara Program adalah lembaga yang mengelola dana cadangan jaminan kompensasi pemutusan hubungan kerja. 6. Dana Cadangan Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja atau yang selanjutnya disebut Dana Cadangan adalah akumulasi dana yang dipupuk secara teratur oleh perusahaan yang pengelolaannya dilakukan secara terpisah dari kekayaan pengusaha atau perusahaan untuk memenuhi sebagian atau seluruh kewajiban pengusaha untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak kepada pekerja/buruh yang timbul akibat putusnya hubungan kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 7. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah penghasilan tidak kena pajak untuk diri Wajib Pajak orang pribadi sebulan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan. 8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. BAB II PROGRAM JAMINAN KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Pasal 2 (1) Untuk menjamin kepastian pembayaran hak-hak pekerja/ buruh atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003, dibentuk Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja. (2) Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. (3) Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja diselenggarakan dengan metode Pemupukan Dana Cadangan. (4) Penyelenggaraan Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja karena meninggal dunia, sakit berkepanjangan, atau cacat akibat kecelakaan kerja dapat dilakukan melalui asuransi. Pasal 3 (1) Pengusaha wajib mengikuti Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja melalui metode Pemupukan Dana Cadangan. (2) Pengelolaan Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara program yang terdiri dari : a. PT Jamsostek (Persero); b. Perusahaan asuransi jiwa; atau c. Dana Pensiun Lembaga Keuangan. (3) Pengelolaan Dana Cadangan oleh perusahaan asuransi jiwa dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, hanya dapat dilakukan apabila memberikan manfaat/jaminan yang lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh PT Jamsostek (Persero). (4) Untuk mengikuti Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengusaha wajib mendaftarkan diri dan membayar iuran Dana Cadangan kepada penyelenggara program. (5) Iuran Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan untuk kepentingan perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Program, mekanisme pendaftaran, pembayaran iuran Dana Cadangan dan pembayaran manfaat/jaminan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 4 Pembayaran jaminan kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan setelah terdapat : a. kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama antara pengusaha dengan pekerja/ buruh yang telah didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial; b. putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. keputusan pengusaha bagi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; atau d. putusan Pengadilan Niaga, bagi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. BAB III DANA CADANGAN Pasal 5 (1) Dana cadangan merupakan pemupukan dana yang berasal dari iuran dan hasil pengembangannya. (2) Pengusaha melakukan pembayaran iuran Dana Cadangan terdiri dari iuran beban kewajiban masa kerja lalu dan iuran masa kerja yang akan datang kepada penyelenggara program yang besarnya berdasarkan perhitungan aktuaria. Usulan ayat (2) Pengusaha melakukan pembayaran iuran Dana Cadangan kepada penyelenggara program, terdiri dari : a. iuran beban kewajiban masa kerja lalu berdasarkan perhitungan aktuaria; dan b. iuran masa kerja yang akan datang. (3) Pembiayaan iuran beban kewajiban masa kerja lalu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap sesuai dengan perjanjian tertulis antara pengusaha dengan penyelenggara program yang sekurang-kurangnya memuat : a. masa angsuran maksimal rata- rata masa kerja yang tersisa; dan b. nilai nominal atau nilai tunai pembayaran angsuran. (4) Pembiayaan/besarnya iuran beban kewajiban masa kerja yang akan datang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sebesar 3% (tiga persen) dari upah sebulan dengan ketentuan paling tinggi 5 (lima) kali Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). (5) Perubahan besaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. (6) Dalam hal perusahaan mengasuransikan peristiwa Pemutusan Hubungan Kerja karena meninggal dunia, sakit berkepanjangan, atau cacat akibat kecelakaan kerja, maka premi asuransi dapat diperhitungkan dengan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai iuran beban kewajiban masa kerja lalu dan masa kerja yang akan datang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 6 (1) Penyelenggara program berhak mendapat biaya pengelolaan Dana Cadangan. (2) Penyelenggara Program wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan pembinaan penyelenggaraan Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja. (3) Biaya pengelolaan dana cadangan dan Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 7 (1) Perusahaan dapat memindahkan Dana Cadangan dari suatu penyelenggara program kepada penyelenggara program lainnya dengan memberitahukan kepada penyelenggara program semula paling lambat 3 (tiga) bulan atau 90 (sembilan puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan pemindahan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemindahan Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 8 (1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, pekerja/buruh berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (2) Penyelenggara program wajib membayar kepada pekerja/buruh dari Dana Cadangan dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja akibat peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang didasarkan atas upah sebulan pekerja/buruh dengan ketentuan paling tinggi 5 (lima) kali Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). (3) Pengusaha wajib membayar selisih antara hak pekerja/buruh berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama dengan jumlah yang dibayar oleh penyelenggara program sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 9 (1) Hak pekerja/buruh yang timbul dari program pensiun sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dapat diperhitungkan dengan manfaat Dana Cadangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. (2) Dalam hal manfaat dari program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil nilainya dibandingkan manfaat Dana Cadangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, maka untuk memenuhi kekurangannya pengusaha wajib mengikuti Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja. Pasal 10 (1) Dalam hal penyelenggara program adalah Dana Pensiun Lembaga Keuangan, hak pekerja/ buruh dibayarkan secara sekaligus pada saat pekerja/ buruh yang bersangkutan diputus hubungan kerjanya. (2) Pembayaran hak pekerja/ buruh secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. BAB IV INVESTASI Pasal 11 (1) Penyelenggara program wajib melaksanakan pengelolaan Dana Cadangan secara baik dengan prinsip kehati-hatian. (2) Dana Cadangan dan hasil pengembangannya harus dicatat secara terpisah dari kekayaan penyelenggara program yang diselenggarakan oleh penyelenggara program yang bersangkutan. (3) Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara program melakukan kegiatan investasi Dana Cadangan pada jenis-jenis sebagai berikut : a. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; b. Sertifikat Bank Indonesia; c. deposito pada Bank Umum; d. obligasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Swasta yang berperingkat tertinggi melalui pasar modal dalam negeri; e. saham yang diperdagangkan di Bursa Efek melalui pasar modal dalam negeri; atau f. reksa dana. (4) Pajak atas hasil pengembangan Dana Cadangan diperlakukan sama dengan hasil pengembangan program Jaminan Hari Tua program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. (5) Ketentuan mengenai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 12 Dana Cadangan tidak dapat dipinjamkan atau diinvestasikan kepada badan usaha dan/atau perorangan yang terafiliasi dengan komisaris, direksi, jabatan 1 (satu) tingkat di bawah direksi Penyelenggara Program, dan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua menurut garis lurus maupun garis samping termasuk menantu dan ipar. BAB V PELAPORAN Pasal 13 (1) Penyelenggara program wajib membuat dan menyampaikan laporan secara berkala tentang pengelolaan Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja kepada Perusahaan Peserta Program dan Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 14 (1) Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan oleh Menteri. (2) Dalam rangka pembinaan Program Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/ serikat buruh dan pihak terkait. (3) Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. BAB VII SANKSI Pasal 15 (1) Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah ini dikenakan sanksi administratif. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pemberhentian sementara kegiatan usaha; atau d. pembatalan dan/atau pencabutan ijin usaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengundangan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA

Senin, 14 Mei 2012

Setiap warga Negara berhak dan wajib mengetahui dan memahami peraturan perundangan yang berlaku di negara Republik Indonesia ini, termasuk buruh. Dibawah ini beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia yang ada kaitannya dengan perburuhan/ ketenagakerjaan. Bahan atau sumber nakah (.pdf) tersebut berasal dari situs pemerintah (nakertans.go.id) Isi dari peraturan tersebut diluar tanggungjawab (percetakan) kami…. Beuh…Kaya dibuku aja. Silahkan sedot/donlot saja apabila sahabat-sahabat pengunjung blog ini membutuhkannya. Namun ingat, setelah didonlot/di- print jangan taruh sembarangan sebab peraturan perundangan adalah benda keramat. Iihhh sueremmmm! UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UUD 1945 DALAM SATU NASKAH (Download) *pdf UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (Download) *doc UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/ SERIKAT BURUH (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1969 TENTANG PENSIUN JANDA/DUDA PEGAWAI (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERDJA (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN) (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (JAMSOSTEK) (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 05 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (Download) *pdf UNDANG – UNDANG NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA (Lembaran Negara No. 56 Tahun 1999) (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM) (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1985 DAN PERUNDANGAN LAIN TENTANG ORGANISASI MASYARAKAT / ORMAS (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 67 TAHUN 1984 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKIRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN) (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN (Download) *pdf UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN TERBARU (PERUBAHAN KEEMPAT UU NO 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN) (Download) *pdf KEPUTUSAN-KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI / KEPMENAKERTRANS REPUBLIK INDOESIA KEPMEN NOMOR : KEP. 49/ MEN/2004 TENTANG KETENTUAN STRUKTUR DAN SKALA UPAH (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP.100/MEN/ VI/2004 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP.101/MEN/ VI/2004 TENTANG TATA CARA PERIJINAN PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA/BURUH (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 102/MEN/ VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP-.201/ MEN/2001 TENTANG KETERWAKILAN DALAM KELEMBAGAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP.220/MEN/ X/2004 TENTANG SYARAT – SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 224 / MEN/2003 TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/ BURUH PEREMPUAN ANTARA PUKUL 23.00 SAMPAI DENGAN 07.00 (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 227/ MEN/2003 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 231 / MEN/2003 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 232/ MEN/2003 TENTANG AKIBAT HUKUM MOGOK KERJA YANG TIDAK SAH (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 234/ MEN/2003 TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT SEKTOR ESDM DAERAH TERTENTU (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 235 / MEN/2003 TENTANG JENIS – JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN, KESELAMATAN ATAU MORAL ANAK (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 255/ MEN/2003 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT (Download) *pdf KEPMEN NOMOR : KEP. 355/MEN/ X/2009 TENTANG TATA KERJA LEMBAGA KERJA SAMA (LKS) TRIPARTIT NASIONAL (Download) *pdf PERATURAN-PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI / PERMENAKERTANS REPUBLIK INDONESIA PERMEN NOMOR : PER-04/ MEN/1994 TENTANG TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN BAGI PEKERJA DIPERUSAHAAN (Download) *pdf PERMEN NOMOR : PER.08/MEN/ III/2006 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR KEP48/ MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA (Download) *pdf PERMEN NOMOR : PER.11/MEN/ VII/2010 TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT DI SEKTOR PERIKANAN PADA DAERAH OPERASI TERTENTU (Download) *pdf PERMEN NOMOR : PER.15/MEN/ VII/2005 TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA PERTAMBANGAN UMUM PADA DAERAH OPERASI TERTENTU (Download) *pdf PERMEN NOMOR: PER.15/MEN/ X/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN (Download) *pdf PERMEN NOMOR: PER.16/MEN/ XI/2010 TENTANG PERENCANAAN TENAGA KERJA MAKRO (Download) *pdf PERMEN NOMOR: PER.17/MEN/ XI/2010 TENTANG PERENCANAAN TENAGA KERJA MIKRO (Download) *pdf PERMEN NOMOR : PER.17/MEN/ VIII/2005 TENTANG KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK (Download) *pdf PERMEN NOMOR: PER.31/MEN/ XII/2008 TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT (Download) *pdf PERATURAN-PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PP NOMOR 07 TAHUN 2000 TENTANG KEPELAUTAN (Download) *pdf PP NOMOR 08 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH (Download) *doc PP NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN DAN INVESTASI DANA PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (Download) *pdf PP NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (Download) *pdf KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPPRES NOMOR 107 TAHUN 2004 TENTANG DEWAN PENGUPAHAN (Download) *pdf PERATURAN DIRJEN PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR PER.1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN PEMUNGUTAN PPH OLEH PIHAK LAIN (Download) *pdf

Minggu, 29 April 2012

PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Pengertian Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara (Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP 100/ MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, selanjutnya disebut Kepmen 100/2004. Pengertian tersebut sependapat dengan pendapat Prof. Payaman Simanjuntak bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka waktunya paling lama 2 tahun,dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi tiga tahun lamanya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa PKWT dibuat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, maka hanya dapat diperpanjang satu kali denan jankga waktu (perpanjangan) maksimum 1 (satu) tahun. Jika PKWT dibuat untuk 1 1/2 tahun, maka dapat diperpanjang 1/2 tahun. Demikian juga apabila PKWT untuk 2 tahun, hanya dapat diperpanjang 1 tahun sehingga seluruhnya maksimum 3 tahun . PKWT adalah perjanjian bersayarat, yakni (antara lain) dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan ancaman bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa Indonesia, maka dinyatakan (dianggap) sebagai PKWTT (pasal 57 ayat (2) UUK). PKWT tidak dapat (tidak boleh) dipersyaratkan adanya masa percobaan (probation), dan apabila dalam perjanjiannya terdapat/diadakan(klausul) masa percobaan dalam PKWT tersebut, maka klausul tersebut dianggap sebagai tidak pernah ada (batal demi hukum). Dengan demikian apabila dilakukan pengakhiran hubungan kerja (pada PKWT) karena alasan masa percobaan, maka pengusaha dianggap memutuskan hubungan kerja sebelum berakhirnya perjanjian kerja. Dan oleh karena pengusaha dapat dikenakan sanksi untuk membayar ganti kerugian kepada pekerja/buruh sebesar upah pekerja/buruh sampai batass waktu berakhirnya jangka waktu perjajian kerja. PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tetapi PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (UUK No. 13 Tahun 2003 pasal 59 ayat (2) dan (3) yakni : pekerjaan (paket) yang sekali selesai atau pekerjaan yang bersifat sementara. pekerjaan yang (waktu) penyelesaiannya diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun khususnya untuk PKWT berdasarkan selesainya (paket) pekerjaan tertentu. Pekerjaan yang bersifat musiman, atau Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan (yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan). PKWT yang didasarkan pada paket pekerjaan yang sekali selesai atau pekerjaan yang bersifat sementara serta pekerjaan yang (waktu) penyelesaiannya diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama, adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu tersebut, dibuat hanya untuk paling lama 3 tahun, dan dalam perjanjiannya harus dicantumkan batasan (paket) pekerjaan dimaksud sampai sejauhmana dinyatakan selesai. Apabila pekerjaan tertentu yang diperjanjikan tersebut, dapat diselesaikan lebih awal dari yang diperjanjikan, maka PKWT berakhir atau putus demi hukum. Dengan kata lain, perjanjian berakhir dengan sendirinya pada saat selesainya pekerjaan. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman, adalah pekerjaan yang dalam pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca tertentu yang hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Demikian juga untuk pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dikategorikan sebagai pekerjaan musiman. Namun hanya dapat dilakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan (Pasal 5). Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT yang bersifat musiman, pelaksanaannya dilakukan dengan membuat Daftar Nama-nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan (pasal 6). PKWT untuk pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru kegiatan baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam (masa) percobaan atau penjajakan dijelaskan lebih lanjut dalam Kepmen 100/2004 bahwa PKWT tersebut hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali perpanjangan dalam masa satu tahun. PKWT untuk pekerjaan- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam (masa) percobaan atau penjajakan tersebut hanya boleh dilakukan oleh pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan. Disamping beberapa jenis PKWT tersebut diatas, dalam praktek sehari-hari, dikenal juga perjanjian kerja harian lepas. Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta (pembayaran) upah yang didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan melalui perjanjian kerja harian lepas tersebut. Pelaksanaan perjanjian kerja harian lepas dilakukan apabila pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (duapuluh satu) hari (kerja) dalam satu bulan. Namun apabila pekerja/buruh bekerja terus menerus melebihi 21 hari kerja selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka status perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT, perjanjian kerja harian lepas adalah merupakan pengecualian (lex specialis) dari ketentuan (khususnya mengenai) jangka waktu sebagaimana tersebut diatas. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaaan- pekerjaan tertentu secara harian lepas, wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis. Perjanjian kerja dimaksud, dapat dibuat secara kolektif dengan membuat daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan, dengan materi perjanjian, berisi sekurang-kurangnya : nama/alamat perusahaanatau pemberi kerja; nama/alamat pekerja/buruh jenis pekerjaan yang dilakukan; besarnya upah dan /atau imbalan lainnya. Daftar pekerja/buruh tersebut disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/Kota setempat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/ buruh. Perpanjangan dan Pembaharuan PKWT Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal, bahwa PKWT dapat didasarkan atas jangka waktu tertentu, dan dapat didasarkan atas paket pekerjaan tertentu. PKWT yang didasarkan atas paket pekerjaan terentu, dibuat hanya maksimum 3 tahun. PKWT yang didsarkan atas suatu (paket) pekerjaan tertentu tersebut tidak dapat diperpanjang atau diperbaharui (Pasal 59 ayat (1) huruf b UUK). Sebaliknya, PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk (pertama kali) paling lama 2 tahun kemudian boleh diperpanjang (hanya) 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun (Pasal 59 ayat (4) UUK). Berkaitan dengan pembaharuan PKWT, apabila PKWT diperbaharui, maka pembaharuan tersebut hanya dapat dilakukan setelah melalui “masa jeda” dengan tenggang waktu (sekurang- kurangnya) 30 hari sejak berakhirnya PKWT yang lama (pertama), dan perbaruan ini hanya boleh dilakukan 1 kali untuk itu jangka waktu paling lama 2 tahun. Dalam kaitan dengan PKWT dibuat atas dasar selesainya (paket) pekerjaan tertentu, yang karena ada alasan kondisi tertentu, sehingga pekerjaan (ternyata) belum dapat diselesaikan, maka dapat dilakukan pembaharuan PKWT. Pembaharuan PKWT bisa dilakukan setelah melebihi masa tenggang (masa jeda) 30 hari setelah berakhirnya perjanjian. Pembaharuan dan tenggang waktu (jeda) mana, dapat diatur dan diperjanjikan lain (Pasal 5 KEP-100). Selanjutnya PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman, tidak dapat dilakukan pembaruan. Demikian juga PKWT untuk pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam (masa) percobaan atau penjajakan juga tidak dapat dilakukan pembaruan. Apabila beberapa syarat PKWT seperti (antara lain) perpanjangan, pembaruan jenis dan spesifikasi, tidak diindahkan, maka demi hukum hubungan kerja akan berubah menjadi hubungan kerja menurut PKWTT. Jika terjadi perubahan hubungan kerja menjadi PKWTT maka berarti pekerja/buruh berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja uang penggantian hak. Persoalannya sejak kapan perhitungan masa kerjanya? Apabila yang dilanggar adalah jenis dan sifat pekerjaannya, maka masa kerjanya dihitung sejak terjadinya hubungan kerja. Apabila yang dilanggar adalah ketentuan mengenai jangka waktu perpanjangan atau pembaruan, maka masa kerja dihitung sejak adanya pelanggaran mengenai jangka waktu tersebut. Sanksi Wanprestasi dalam PKWT PKWT berakhir pada saat berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam klausul perjanjian kerja tersebut. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum waktunya berakhir atau sebelum paket pekerjaan tertentu yang ditentukan dalam perjanjian kerja selesai, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena pekerja/buruh meninggal, dan bukan karena berakhirnya perjanjian kerja (PKWT) berdasarkan putusan pengadilan/lembaga PPHI, atau bukan karena adanya keadaan- keadaan (tertentu), maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (Pasal 162). PKWT untuk Sektor Usaha/ Pekerjaan Tertentu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat menetapkan (dengan Kepmenakertrans) tersendiri ketentuan PKWT- Khusus untuk sektor usaha dan / atau pekerjaan tertentu, seperti pada sektor Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.

Senin, 16 April 2012

LUPAKAN KEBAIKAN, MAAFKAN KESALAHAN Dahulu disebuah perkampungan tinggal seorang nenek yang sudah sangat tua. Namun kondisi tubuhnya masih sangat sehat. Walaupun usianya sudah lanjut dirinya masih bisa mencari nafkah sendiri. Walaupun hidup sendiri, dirinya tidak pernah terlihat sedih. Setiap waktu bibirnya selalu mengembangkan senyum dan raut mukanya ceria. Nenek ini tidak menjadi beban para tetangga, sebaliknya para tetangga menjadikan beliau sebagai tempat mencari jalan keluar untuk berbagai masalah, karena Sang nenek memang terkenal suka membantu terhadap sesama, beliau akan memberikan bantuan sebanyak yang ia bisa. Kalau memang harus memberikan bantuan berupa materi, ketika ia punya dirinya tak segan-segan memberikan kepada yang lebih membutuhkan. Tidak hanya orang yang tidak mampu saja yang sering minta bantuan kepada Sang nenek, banyak juga orang kaya bahkan pejabat setempat mendatanginya untuk sekedar meminta nasehat. Masyarakat setempat sangat mengagumi dan menghormati Sang nenek mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua. Suatu hari dirinya pun didatangi seorang pejabat desa setempat, pejabat ini terkenal sangat dermawan. Namun pejabat ini tetap merasakan pamornya kalah dengan Sang nenek. Ia merasakan apa yang dilakukan jauh melebihi sang nenek. Ia selalu membantu rakyatnya yang kesusahan dan ia merasakan apa yang didapat tidak setimpal. Hatinya sangat gelisah dan pejabat ingin mencari tahu apa yang diperbuat nenek sehingga Sang nenek mendapatkan simpati yang melebihi dirinya. ”Nenek aku ingin tahu rahasia nenek sehingga nenek begitu dihormati disini ?” Tanya pejabat. ”Nenek tidak melakukan apa-apa” Jawab nenek dengan gaya khasnya yang selalu tersenyum tulus kepada siapa saja. ”Aku benar-benar ingin tahu nenek, Aku merasakan aku sudah berusaha yang terbaik untuk rakyatku tetapi mengapa aku masih tetap saja gelisah. Bukankah kata orang-orang bahwa yang selalu berbuat baik hidupnya akan tenang” ”Itu betul tuan pejabat” Nenek menjawab singkat. ”Kalau berbicara kebaikan aku yakin aku jauh lebih banyak berbuat baik dibandingkan nenek. Tapi bagiku bisa membantu orang merupakan satu karunia terbesar yang harus aku syukuri” ”Itu juga betul tuan pejabat” ”Aku bisa merasakan dan sangat yakin hidup nenek jauh lebih tentram dan bahagia dari aku” Tuan pejabat makin gelisah. ”Lagi-lagi tuan pejabat betul” Sang nenek memberikan jawaban yang sama dan pembawaannya juga tetap tenang. ”Mengapa bisa demikian?” Airmuka pejabat mulai berubah. Wibawa Sang pejabat hampir tidak terlihat dan berganti sosok yang memelas yang lagi membutuhkan pertolongan. ”Apakah tuan pejabat benar-benar ingin tahu penyebab kegalauan tuan?” Sang nenek pun melontarkan pertanyaan. ”Iya nek” Balas tuan pejabat. Sesungguhnya nenekpun belum tahu apa penyebabnya, yang bisa nenek lakukan adalah mencari akar permasalahan yang menyebabkan tuan gelisah” Kali ini nenek berbicara dengan nada yang sangat berwibawa. Dan kewibawaannya semakin membuat si pejabat ciut. ”Baiklah, nenek ingin tanya hari ini tuan sudah berbuat kebaikan apa saja dan kejahatan atau kesalahan orang lain apa yang diterima tuan ?” Nenek menatap dalam- dalam sedangkan tuan pejabat tidak berani membalas tatapan Sang nenek. Ia tertunduk sedih. ”Hari ini aku telah membantu sebuah keluarga yang kelaparan. Aku terharu melihat mereka menitik air mata saat menerima bantuan dariku, tapi yang membuatku kesal saat aku menuju kesini ditengah jalan aku bertemu seorang yang terpeleset dijalan, aku menolongnya, dia bukannya berterimakasih malah memaki- maki aku dengan kata yang kasar katanya aku jadi pejabat tidak becus. Masa, jalan lagi rusak tidak diperbaiki. Padahal kondisi jalan sama sekali tidak rusak. Aku benar- benar tidak bisa diterima, air susu dibalas dengan air tuba” Jelas pejabat panjang lebar. ”Lupakan itu semua maka hidup tuan akan tenang” ”Maksud nenek?” Tuan pejabat makin bingung. ”Lupakan kebaikan kita kepada orang lain dan juga lupakan kesalahan orang lain terhadap kita” Akhirnya tuan pejabatpun paham apa yang membuat dirinya tidak tenang dan mengapa hidup Sang nenek begitu dihormati. Tuan pejabat pun berpamitan pulang dan ia telah menemukan kunci hidup tentram. Setelah itu, wajah tuan pejabat pun selalu terlihat ceria dan mengembangkan senyum. Dirinya pun tidak mengingat kebaikannya dan kesalahan orang lain. Berbuat baik itu mulia, mampu memaafkan jauh lebih mulia ”Kebaikan Akan Kehilangan Nilai Luhurnya Jika Mengharapkan Pamrih, Dan Kesalahan Orang Lain Pun Akan Membawa Berkah Jika Kita Bisa Memaafkan” Sahabat.......,Mengingat kebaikan kita dan kesalahan orang lain bukan tidak mungkin akan menimbulkan satu penyakit jiwa dan fisik, memikirkan kebaikan kita yang tidak di hargai dan pelecehan orang lain akan menyebabkan kita susah tidur dan tidak ada nafsu makan, bukankah akan merusak lahiriah dan batiniah?. Melupakan kebaikan kita membuat kita tidak berharap lebih dan melupakan kesalahan orang lain akan membunuh akar dendam yang otomatis membuat kita hidup tenang. Berbuat baik terhadap sesama adalah kewajiban yang tidak perlu ada hitung-hitungan. Dan bersyukurlah kita yang diberi kesempatan untuk berbuat baik. Lihatlah berapa banyak orang yang ingin berbuat baik tetapi tidak mempunyai kesempatan. Mereka yang terbaring tidak berdaya, mereka yang tidak punya apa-apa saat melihat pengemis datang kepadanya, hanya ada niat tetapi tidak mempunyai kemampuan. Namun itu masih lebih baik dari pada mereka yang bisa menolong tetapi enggan melakukannya. Menolong orang lain atau berbuat baik pun tidak selalu dengan materi, kita bisa membantu dengan tenaga, pikiran bahkan bisa juga dengan menjadi pendengar yang baik yang sedikit berbicara ketika orang lain menceritakan beban hidupnya. Dan di Dunia ini pun tidak ada orang yang tidak pernah berbuat salah. Jika kita tidak bisa melupakan kesalahan orang lain terhadap kita, sepanjang hidup berapa banyak orang yang pernah berbuat salah kepada kita. Jika dibiarkan bukankah dendam akan menumpuk dihati kita yang akan merusak diri kita sendiri. Berbuat baik sekecil apapun lalu lupakan. Dan sebesar apapun kesalahan orang lain kitapun tidak perlu mengingatnya. Sebelum kita menghitung kebaikan yang telah dilakukan sebaiknya terlebih dahulu kita harus menghitung kesalahan yang pernah diperbuat. Allah berfirman dalam Hadits Qudsi yang artinya : " Nabi Musa a.s telah bertanya kepada Allah : " Ya Rabbi ! siapakah diantara hamba-MU yang lebih mulia menurut pandangan- Mu ?" Allah berfirman :" Ialah orang yang apabila berkuasa (menguasai musuhnya), dapat segera memaafkannya." Dalam perjalanan membawa misi Dakwah kepada Kaum Thaif, Rasulullah SAW mendapat luka pada muka dan juga patah beberapa buah giginya. berkatalah salah seorang sahabatnya :" Cobalah tuan doakan agar mereka celaka." Rasulullah menjawab :"Aku sekali kali tidak diutus untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan Penebar Kasih Sayang. Lalu beliau menengadahkan tangannya kepada Allah Yang Maha Mulia dan berdoa " Ya Allah ampunikah kaumku , karena mereka tidak mengetahui ." Masih dalam waktu yang sama juga, seorang budak hitam bernama Wahsyi yang dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan bila dapat membunuh paman Nabi bernama Hamzah bin Abdul Muththalib r.a , ternyata ia berhasil membunuh Hamzah dan ia dimerdekakan. kemudian ia masuk Islam dan menghadap kepada Nabi Saw. Wahsyi menceritakan peristiwa pembunuhan hamzah. walaupun Nabi Saw telah menguasai Wahsyi dan dapat melakukan pembalasan, namun tidak melakukannya bahkan memaafkannya. alangkah tingginya akhlak ini. " Dan hendaklah mereka suka memaafkan dan mengampuni. apakah kalian tidak suka Allah mengampuni kalian ? " (QS. An- Nuur ; 22) http://www.rumah- yatim-indonesia.org/

Minggu, 15 April 2012

Outsourcing Makin Kokoh dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh: Ismet Inoni | 10 April 2012 | 12:06 WIB Kurang lebih sebulan lalu atau tepatnya 17 Januari 2012 lalu Mahkamah Kostitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materil Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam putusannya dengan No. 27/PUU- IX/2011, Mahkamah Konstitusi menilai pekerjaan yang memiliki obyek tetap tak bisa lagi dikerjakan lewat mekanisme kontrak atau outsourcing. Namun kebingungan dihadapi klas buruh Indonesia, pertanyaannya adalah bagaimana nasib buruh setelah putusan MK itu? Apakah tidak akan ada lagi buruh yang bekerja di kontrak melalui perusahaan penyedia tenaga kerja? Begitu banyak praktek diskriminasi dari peraturan outsourching yang dikeluarkan sejak rejim pada pemerintahan Megawati pada tahun 2003 lalu hingga rejim SBY Boediono hari ini. Tetapi napasnya tetap sama buruh tidak diberikan jaminan atas upah, tidak ada jaminan sosial, tidak ada jaminan atas kepastian kerja dan tidak ada jaminan atas kebebasan berserikat bagi buruh. banyak perusahaan Indonesia dengan sangat terang-terangan menjalankan outsourcing dan sistem kerja kontrak meskipun kontrak dan outsourcing seharusnya diperuntukkan untuk sektor-sektor perusahaan tertentu. Namun faktanya perusahaan di Indonesia banyak memperkerjakan outsourcing khususnya outsourcing tenagakerja buruh, padahal dalam pekerjaan terus menerus itu tidak boleh dilakukan. Bahkan hingga saat ini tidak jarang masih ditemukan banyak perusahan dimana buruh hanya mendapatkan upah hanya Rp. 15.000,-/hari, lebih celakanya lagi banyak praktek diperusahaan yang tidak membolehkan buruhnya menikah atau jika boleh menikahpun ada syaratnya yaitu tidak diperkenankan hamil karena terikat kontrak dalam perusahaan outsourcing. MK menegaskan bahwa outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak- haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing. …..Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcingberdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja/ buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Meskipun dua model usulan Mahkamah diarahkan untuk melindungi pekerja, kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan buruh dan serikat buruh dan menilai putusan MK justeru makin mengukuhkan praktek outsourcing, dimana sebagian kalangan serikat buruh menyebutkan bahwa putusan ini makin melegalkan praktek outsourcing. Setidaknya ada beberapa hal penting yang patut dikritisi dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan turunannya tersebut: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi justeru semakin mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistim ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih bekerja di perusahaan penyedia tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja; 2. Posisi tawar buruh diperusahaan outsourcing sangat lemah terutama dalam hal hak membentuk dan hak untuk bergabung dalam serikat buruh yang menjadi pilihan para buruh; 3. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengubah apapun sebab bentuk pengalihan tanggungjawab perlindungan buruh terletak perjanjinan antara perusahaan pemberi borongan dengan perusahaan penerima pemborongan sementara jaminan atas tanggungjawab perlindungan tengakerja buruh terletak pada pada perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama sementara perjanjinan antara perusahaan pemberi dan penerima outsourcing baik pemborongan pekerjaan ataupun tenagakerja buruh bukan suatu hal yang mudah diakses oleh buruh apalagi calaon buruh; 4. Putusan MK ini pada tahun 2004 MK telah memutuskan bahwa dalam putusan mahkamah konstitusi sebelumnya yaitu Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 yang dimuat dalam berita negara Republik Indonesia No. 92 Tahun 2004 perkara ini justeru ditolak dengan alasan bahwa pasal 64-66 undang-undang No 13 Tahun 2003, mendapat perlindungan kerja dan syarat- syarat yang sama dengan perlindungan kerja dan syarat- syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia, maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UU Ketenagakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery dalam proses produksi. maka patut diwaspadai dan juga perlu mendapat pengkritisan yang lebih dalam bahwa sesungguhnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut justeru menjadi bangian dalam rangka melakukan revisi merangkak atas undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara bertahap sesuai dengan keinginan rejim hari ini, dimana undang-undang ini makin mendapat tekanan dan sorotan serikat buruh untuk dicabut. Disisi lain sistim pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan belum maksimal dimana saat ini serikat buruh memandang bahwa pemerintah tidak serius dalam melakukan pengawasan dan memberikan hukuman kepada perusahaan yang tidak mematuhi peraturan ketenagakerjaan. Selanjutnya menjadi sangat merisaukan jika ternyata banyak serikat buruh yang justeru menganggap bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah peluang baru bagi buruh Indonesia akan makin terbantahkan bahwa ternyata putusan Mahkamah Konstitusi ini tersebut tidak bisa diberlakukan surut atau membatalkan perjanjian yang sudah dan sedang berjalan sesuai system hukum di Indonesia maka putusan tersebut tidak serta merta dapat langsung diterapkan di pengusaha dalam posisi demikian. Dimana, jika ada perusahaan yang sedang melakukan dan melaksanakan perjanjian terkait penggunaan outsourcing dapat berjalan sampai berakhirnya perjanjian tersebut hal ini sebagaimana juga ditegaskan juga dalam surat edaran menteri tenagakerja dan transmigrasi pada poin 3 (tiga): ….Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU-IX/2011 tanggal17 Januari 2012 tersebut, serta dengan mempertimbangkan keberadaan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelum diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka PKWT yang saat ini masih berlangsung pad a perusahaan pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. surat edaran menakertrans No.B.31/ PHIJSK/I/2012.

Sabtu, 14 April 2012

ADDENDUM Istilah addendum merupakan istilah hukum yang lazim disebut dalam suatu pembuatan perjanjian. Dilihat dari arti katanya, addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. (John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris- Indonesia, hal.11).. Pengertian Addendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu. (http:// id.wikipedia.org/wiki/ Addendum). Menurut Frans Satriyo Wicaksono, SH dalam buku “Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak” disebutkan jika pada saat kontrak berlangsung ternyata terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam kontrak tersebut, dapat dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat akan hal yang belum diatur tersebut. Untuk itu ketentuan atau hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah dibuat. Pengaturan ini umum ini umum disebut dengan addendum atau amandemen Biasanya klausula yang mengatur tentang addendum dicantumkan pada bagian akhir dari suatu perjanjian pokok. Namun apabila hal tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian, addendum tetap dapat dilakukan sepanjang ada kesepakatan diantara para pihak, dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Addendum adalah tambahan yang dilampirkan atau dalam istilah lampiran yang dilampirkan dan tidak merubah isi pokok dalam suatu perjanjian, dan adendendum ini dibuat sama halnya dengan perjanjian yaitu ditanda tangani para pihak sepanjang tidak bertentengan dengan pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian kerja tidak dapat dirubah ataupun ditarik kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, tidak semua perjanjian kerja bisa dirubah ataupun ditarik kembali, sepanjang itu tidak bertentangan dg UU yang ada yaitu pasal2 yang terkait akan perjanjian itu sah sah saja suatu perjanjian diadakan reniew kembali, revisi suatu perjanjian dilakukan sebelum masa perjanjian itu habis tapi setelah masa perjanjian itu habis para pihak tidak bisa merubahnya lagi sekalipun diadakan adendum, perjanjian yg telah berakhir masa perjanjiannya tidak bisa dirubah lagi

BURUH INDONESIA 2012 adalah tahun kebangkitan kaum buruh di Indonesia, diwaktu rezim ORBA kaum buruh sangat sulit untuk berbicara ataupun berorasi dimuka umum, tapi semenjak tergulingnya REZIM ORBA tempo hari yaitu 1998 kaum buruh sudah mulai bangkit kepermukaan walaupun masih pelan2, semenjak itu serikat buruh mulai exis kepermukaan dan telah terobosan2 baru yg diciptakan kaum buruh sampai saat ini. Walaupun demikian kaum kapitalis tak tinggal diam dan selalu mencari celah bagaimana supaya buruh di Indonesia selalu tertindas dan terbelakang Kalau ditinjau kebelakang PERMEN 01 1999 tentang upah minimum sudah cukup bagus kalau benar2 diterapkan yaitu upah minimum berlaku buat karyawan yang lajang dan bekerja dibawah 1 tahun, dan karyawan yg bekerja diatas 1 tahun dan berkeluarga upahnya dibicarakan antara pekerja dan pengusaha, tapi disini sering terjadi silang semgketa antara buruh dan pengusaha dalam menetapkan upah tersebut UU NO 13 TAHUN 2003, pada hakekatnya sudah bagus kalau betul diterapkan pasal demi pasal dan ayat demi ayat, permasalahan Tenaga kerja asing yg telah diatur dalam undang2 ini dan diperkuat dg kepmennya dan ditambah lagi dg kepmen terbaru pebruari 2012 tentang jabatan2 yg tidak boleh dipegang orang asing yaitu yg berhubungan dg HRD, permasalahan upah, struk skala upah, perjanjian kerja dan Outsourcing cukup bagus kalau betul2 pengusaha dan pemerintah menjalankan apa2 yg termaktub dalam UU yg ada, tapi sayang selama ini pemerintah dan pengusaha bangat yg keluar dalam koridor hukum ini dan disinilah timbul aksi demi aksi yg dilakukan buruh selama ini, yaitu menuntut hak2 yang dirampas kapitalis. Januari tgl 17 MK telah mengadakan judical review beberapa pasal dalam UU NO 13 TAHUN 2003 terhadap UU 1945, yg melahirkan suatu keputusan yg intinya pasal 59 UU NO 13 TAHUN 2003 masih berlaku dan mengadakan suatu perubahan terhadap pasal 64 dan 65 yg intinya Outsourcing boleh diberlakukan asal karyawan Outsourcing PKWTT dan boleh PKWT asal ada pengalihan hak2 atas karyawan tersebut, yaitu PKWT yg sesuai dg pasal 59 dan KEPMEN NO 100 2004 dan OUTSOURCING yg sesuai dg pasal 64,65,66 dan KEPMEN 220 2004 tentang Outsourcing, tapi kapan ini semua akan terimplementasi? Apakah harus menunggu peraturan perundang2an yg baru yg mengatur akan ini atau sudah harus diberlakukan? Kalau ditelaah kebelakang tentang kekuatan hukum putusan MK yang termaktub dalam UUD 45 yg menjelaskan keputusan MK itu bersifat final .....jadi disini penulis berasumsi semenjak putusan MK tempo hari dibacakan dan diperkuat dg SE kemenakertrans keputusan ini udah bisa dilaksanakan, tapi apa yg terjadi dilapangan? Bukannya outsourcing berkurang tapi makin menjamur Disinilah seharusnya peran aktif pemerintah, bagaimana pengawasan dilapangan terlaksana dg baik agar situasi keharmonisan antara pekerja dan pengusaha selalu terjaga, jangan sampai hak hak buruh tidak diperhatikan

Minggu, 26 Februari 2012

Sebuah Perusahaan "Outsourcing" Naker di Batam Akan Hentikan Usaha Batam (ANTARA News) - PT Tunas Karya, sebuah perusahaan "outsourcing" pemasok tenaga kerja(naker) ke bisnis inti ke berbagai perusahaan di Batam, berkomitmen menghentikan usaha tersebut karena melanggar Undang-undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Meski demikian, direktur perusahaan tersebut, Karel Budiman, dalam gelar wicara Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di Batam, Senin meminta waktu untuk menyelesaikan masa kontrak dengan perusahaan-perusahaan penerima jasanya. Tunas Karya, sudah 15 tahun berdiri dan tertua di Batam sebagai perusahaan pemasok tenaga kerja terlatih. Perusahaan itu sudah menempatkan sekitar 100 ribu naker terlatih menjadi karyawan tetap berbagai industri. Belakangan, seperti diakui Karel, karena mengikuti "trend", Tunas Karya juga menyediakan naker dengan pola "outsourcing" untuk bekerja di bisnis inti perusahaan penerima. "Kami kian menyadari pengembangan itu menyimpangi UU No 13/2003. Tidak, kami hentikan saja. Tetapi, beri kami waktu untuk menyelesaikan kontrak," katanya. Ia memandang penting UU tersebut disosialisasikan kepada parta investor dan ke berbagai perusahaan sejenis agar tidak lagi terjadi pelanggaran. Direktur perusahaan yang berkantor di Jakarta itu kepada ANTARA News mengatakan, dewasa ini pihaknya masih harus menyelesaikan kontrak 20 ribu naker dengan pola "outsourcing" di bisnis inti perusahaan penerima. Gelar wicara itu bertajuk "Prokontra `Outsourcing` di Batam" yang penolakannya menjadi tema Gerakan Buruh se- Indonesia pada "May Day" (Hari Buruh Internasional) 1Mei 2006. Praktik tersebut dinilai tidak melindungi kepentingan hari tua buruh bersangkutan, menimbulkan kecemburuan buruh "non-outsourcing" karena perbedaan gaji, serta menyalahi UU Ketenagakerjaan. Acara di Batam menghadirkan Karel Budiman, Wakil Presiden DPP FSPMI Ridwan Monoarfa, Karles Sinaga dari Komisi IV DPRD Kota Batam, serta Emrizal yang kepala bidang Hubungan Industrial dan Persyaratan Kerja Disnaker Kota Batam. Emrizal mengatakan di Batam dewasa ini terdapat sekitar 20 perusahaan jasa pemasok naker dengan pola "outsourcing" pekerjaan inti. Akan tetapi, mengenai jumlah naker yang dimaksud, ia mengatakan tidak mengetahui persis sebab tidak ada laporan dari perusahaan pemberi maupun penerima. "Jumlah yang ada di perusahaan-perusahaan pun selalu berubah," kilahnya. "Outsourcing" berdasarkan pasal 59 UU No 13/2003 hanya dibolehkan bagi pekerjaan- pekerjaan pemborongan, dan bukan pada naker yang dipekerjakan ke bisnis inti perusahaan penerima. Namun, di Batam kian berkembang praktik "outsourcing" naker dari perusahaan pemasok naker ke pekerjaan inti perusahaan penerima. Anti Sujanto dari FSPMI Batam mencontohkan ada sebuah perusahaan yang karyawannya 3.000, ternyata di bisnis intinya terdapat 2.700 orang tenaga "outsourcing". Karles Sinaga mengemukakan, pada tahun 1991, ketika Batam masih "sepi" dari pekerja pendatang, Tunas Karya berjasa dalam mendatangkan pekerja. Akan tetapi setelah 15 tahun kemudian, hendaknya Tunas Karya maupun perusahaan- perusahaan sejenis, melindungi naker yang sudah berdomisili lama di Batam. DPRD Kota Batam sendiri, katanya, kini berinisiatif menyiapkan rancangan peraturan daerah tentang ketenagakerjaan yang di antaranya akan membatasi pekerja pendatang baru agar dapat melindungi naker lama yang usianya sudah di atas 25 tahun dan telah lama bekerja di Batam.(

Rabu, 22 Februari 2012

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca- Putusan MK Kedudukan hukum pelaksanaan Outsourcing ini didasarkan pada Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang berbunyi: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” Pada 17 Januari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (“MK”) memutus permohonan pengujian UUK yang diajukan oleh Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Didik Suprijadi (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/ PUU-IX/2011 ). Berikut bunyi amar putusannya: AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: · Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian ; · Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam 47 perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; · Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; · Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; · Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Sumber: Putusan MK No. 27/PUU- IX/2011 Dalam pertimbangannya, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak- haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing, yaitu : 1. Dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”). 2. Menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan. Meski demikian, kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat tersebut. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/ I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 . “Putusan Mahkamah Konstitusi itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin ,” kata Menakertrans Muhaimin Iskandar, sebagaimana dikutip dalam artikel Kemenakertrans Terbitkan Aturan Outsourcing dan PKWT. Bahwa Putusan MK No. 27/PUU- IX/2011 tidaklah mencabut pasal UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai outsourcing (lihat amar putusannya di atas). Untuk pekerja/karyawan outsourcing saat ini diberikan perlindungan hukum dalam dua model outsourcing sebagaimana di jelaskan di atas sesuai putusan MK tersebut.

Jumat, 20 Januari 2012

INILAH.COM, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pekerja outsourcing itu melanggar konstisusi sudah final. Untuk itu harus diterjemahkan sehingga tidak diskriminatif. Hal itu dikatakan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, Jumat (20/1). "Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait pekerja outsourcing atau pekerja tak tetap itu melanggar konstitusi, maka jangan sampai ada dalam mengambil keputusan menimbulkan diskriminatif nantinya," ujarnya. Secara normatif tidak boleh ada diskriminatif. "Apa yang telah menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi, maka nantinya harus diterjemahkan operasionalnya itu seperi apa, agar tidak menimbulkan dispute. Maka dari itu Mahkamah Konstitusi (MK) itu kan sudah final," jelasnya. MK telah memutuskan terjadi ketidakpastian pekerja dengan sistem kontrak, termasuk outsourcing sehingga telah melanggar konstitusi. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keputusan itu dilakukan untuk uji materi yang diajukan oleh Didik Suprijadi, mewakili LSM Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI). Oleh MK, aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut, yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hak-hak pekerja. MK menilai, UU Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja.

Kemarin (Kamis 17 Januari 2012), Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan atas pengujian Undang- undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUK) dengan nomor perkara : 27/ PUU-IX/2011 yang dimohonkan oleh Didi Suprijadi sebagai perwakilan dari Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Inti dari putusan MK tersebut adalah menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) – di kalangan buruh dikenal dengan sistem kontrak – tidak berlaku dalam hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan outsourcing sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak diatur mengenai pengalihan perlindungan hak-hak buruh ketika terjadi pergantian perusahaan outsourcing dalam satu perusahaan pemberi kerja. Terhadap putusan tersebut, ada beberapa kawan dari kalangan aktivis buruh yang menganggapnya sebagai kabar gembira karena memberikan harapan yang baik bagi buruh, tetapi saya justru merasa jengkel dan kecewa setelah membaca putusan MK tersebut. Setidaknya ada dua hal yang membuat saya jengkel dan kecewa : Pertama, melalui putusan tersebut MK semakin menegaskan PKWT dan outsourcing konstitusional, artinya tidak bermasalah secara konstitusi. Secara tidak langsung MK turut melanggengkan sistem PKWT dan outsourcing (status quo) . Kedua, MK hanya mengandaikan suatu keadaan yang “ideal” dalam sistem outsourcing. MK melanggengkan Sistem Kontrak dan Outsourcing MK memiliki pandangan bahwa suatu kewajaran bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan buruh, karena tidak mungkin bagi pengusaha untuk terus memperkerjakan buruh tersebut dengan tetap membayar gajinya padahal pekerjaan sudah selesai dilaksanakan sementara jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 UUK – Pasal yang mengatur PKWT -- hal itu merupakan persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal 59 UUK tidak bertentangan dengan UUD 1945 (baca hal 38 Putusan MK). MK juga berpandangan sama mengenai outsourcing. Menurut MK outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha (Baca hal 43 Putusan MK). MK mengandaikan suatu yang “ideal” dalam sistem outsourcing Keberadaan sistem kontrak dan outsourcing pada kenyataannya berdampak buruk bagi buruh karena tidak memberikan kenyamanan kerja atau kepastian keberlangsungan kerja. Buruh kontrak dihadapkan pada ancaman pemutusan kontrak dan sulitnya mencari pekerjaan baru di tengah masih banyaknya pengangguran dan sedikitnya lapangan pekerjaan. Ancaman tersebut juga berlaku bagi buruh outsorcing mengingat banyak perusahaan outsourcing yang menggunakan sistem kontrak dalam mempekerjakan buruh. Namun ada keadaan khusus dalam sistem outsourcing yang sering ditemukan di lapangan, yaitu keadaan dimana perusahaan pemberi kerja mengakhiri perjanjiannya dengan perusahaan outsourcing, ini berarti buruh kehilangan pekerjaan, karena dalam hubungan kerjanya buruh hanya terikat dengan perusahaan outsourcing. Tetapi ada pengecualian, dalam hal perusahaan pemberi kerja mengambil alih buruh untuk dipekerjakan secara langsung atau perusahaan pemberi kerja mengganti perusahaan outsourcing yang lama dengan perusahaan outsourcing yang baru, sementara status buruh beralih menjadi pekerja dari perusahaan outsourcing yang baru tersebut. Pengecualian yang kedua tersebutlah -- pergantian perusahaan outsourcing -- yang menurut saya telah menjadi situasi yang diandaikan atau dibayangkan oleh MK sekaligus menjadi latar belakang pertimbangan putusan MK. Hal ini terlihat dari pertimbangan putusan sebagai berikut : “Apabila hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi kerja dengan perusahaan outsourcing atau perusahaan yang menyediakan jasa pekerja/ buruh outsourcing habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja pekerja/buruh outsourcing. Akibatnya, pekerja/buruh harus menghadapi resiko tidak mendapatkan pekerjaan selanjutnya karena pekerjaan borongan atau perusahaan penyediaan jasa pekerja/ buruh tidak lagi mendapat kontrak perpanjangan dari perusahaan pemberi kerja. Selain adanya ketidakpastian mengenai kelanjutan pekerjaan, pekerja/buruh akan mengalami ketidakpastian masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak pada hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya.” (Hal 42 Putusan MK) “..dalam hal hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak- haknya sebagai pekerja/ buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/ buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing” (Hal 44 Putusan MK) “Dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/ buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya. Aturan tersebut tidak saja memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya, karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional” (Hal 44 – 45 Putusan MK) Dari pertimbangan MK tersebut, sederhananya MK membolehkan praktek outsourcing dengan menggunakan sistem kontrak sepanjang dalam perjanjian kerjanya dicantumkan bahwa buruh akan bekerja pada perusahaan outsourcing yang baru dalam hal terjadi pergantian perusahaan dan hak-hak buruh akan tetap diberikan. Pengandaian MK tersebut menurut saya terlalu sempit, karena pada kenyataannya persoalan outsourcing tidak sesederhana itu. Hakikat dari outsourcing adalah upaya efisiensi (meminimalisasi biaya pengeluaran maupun pengelolaan administrasinya) dari perusahaan pemberi kerja dengan mengalihkan tanggung jawabnya kepada perusahaan outsourcing, karena tujuannya adalah pengurangan biaya, tentu saja perusahaan outsourcing tidak akan mendapat banyak keuntungan dari perusahaan pemberi kerja. Dari keadaan itulah perusahaan outsourcing menarik keuntungan lebih besar dari pemotongan hak buruh dari yang seharusnya diberikan langsung oleh pemberi kerja. Dengan cara itu pula perusahaan outsourcing dapat bertahan hidup. Dengan demikian, bagaimana mungkin perusahaan outsourcing dapat memberikan perlindungan terhadap buruh apalagi menyejahterakan seperti yang dibayangkan oleh MK? Karena hal tersebut bertentangan dengan hakikat outsourcing. Putusan MK bersyarat: membingungkan dan tidak memberikan solusi MK menyatakan jika PKWT dalam hubungan kerja outsourcing tidak mencantumkan pengalihan tindakan perlindungan (konteksnya sekali lagi sempit, yaitu dalam hal adanya kemungkinan pergantian perusahaan outsourcing) maka PKWT tersebut tidak berlaku. Itu berarti, ketika secara tertulis ada syarat pengalihan tindakan perlindungan, maka PKWT tetap sah dan berlaku. Pertanyaannya kemudian, apa yang mesti dilakukan buruh seandainya PKWT tidak berlaku dikarenakan tidak ada aturan pengalihan perlindungan, tetapi perusahaan outsourcing tetap mem-PHK buruh dengan alasan kontrak habis? Atau jika dalam PKWT dicantumkan tentang pengalihan perlindungan, tetapi perusahaan outsourching yang lama tetap mem-PHK buruh? Atau perusahaan outsourcing yang baru tidak mau mempekerjakan buruh? MK mungkin akan menjawab “Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak” (Baca hal 45 putusan MK). Bukankah Pengadilan Hubungan Industrial selama ini merupakan liang kubur bagi buruh?

Kemnakertrans terbitkan surat edaran outsourcing dan PKWT Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan surat edaran pascakeputusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang dilakukan beberapa hari lalu. "Keputusan Mahkamah Konstitusi itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar di kantor Kemnakertrans Jakarta, Jumat. Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/ I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 itu ditujukan kepada Kepala Instansi yang bertanggungjawab di bidang Ketenagakerjaan Provinsi di Seluruh Indonesia mengenai pengujian Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Myra M. Hanartani mengatakan, beberapa pokok aturan yang dijelaskan dalam surat edaran tersebut antara lain bahwa kegiatan oursourcing itu harus melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (permanen). "Tetapi kegiatan outsourcing boleh menggunakan PKWT dengan syarat harus ada jaminan kelangsungan pekerjaan bagi pekerjanya. Untuk itu harus ada jaminan kelangsungan pekerjaan," kata Myra. Dalam poin pertama surat edaran itu disebutkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap berlaku. Poin selanjutnya, tambah Myra, dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka ada beberapa hal yang harus dipatuhi. "Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/ buruhnya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), maka harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)," kata Myra. Namun apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya sudah memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak- hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), kata Myra. Sementara untuk keberadaan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelum diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka PKWT yang saat ini masih berlangsung pada perusahaan pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. Agar mekanisme tersebut dapat berjalan dengan baik, pihak Kemnakertrans akan mengintensifkan pengawasan perusahaan pengerah outsourcing sehingga kelangsungan para pekerja menjadi terjamin. "Pengawasan ketenagakerjaan yang akan ditingkatkan, baik pembinaan maupun dalam konteks pada penegakan hukum. Perusahaan jasa outsourcing harus benar benar mengikuti peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Perusahaan tidak akan ditutup tapi harus menjamin kesejahteraan para pekerjanya," kata Muhaimin.