Minggu, 26 Februari 2012

Sebuah Perusahaan "Outsourcing" Naker di Batam Akan Hentikan Usaha Batam (ANTARA News) - PT Tunas Karya, sebuah perusahaan "outsourcing" pemasok tenaga kerja(naker) ke bisnis inti ke berbagai perusahaan di Batam, berkomitmen menghentikan usaha tersebut karena melanggar Undang-undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Meski demikian, direktur perusahaan tersebut, Karel Budiman, dalam gelar wicara Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di Batam, Senin meminta waktu untuk menyelesaikan masa kontrak dengan perusahaan-perusahaan penerima jasanya. Tunas Karya, sudah 15 tahun berdiri dan tertua di Batam sebagai perusahaan pemasok tenaga kerja terlatih. Perusahaan itu sudah menempatkan sekitar 100 ribu naker terlatih menjadi karyawan tetap berbagai industri. Belakangan, seperti diakui Karel, karena mengikuti "trend", Tunas Karya juga menyediakan naker dengan pola "outsourcing" untuk bekerja di bisnis inti perusahaan penerima. "Kami kian menyadari pengembangan itu menyimpangi UU No 13/2003. Tidak, kami hentikan saja. Tetapi, beri kami waktu untuk menyelesaikan kontrak," katanya. Ia memandang penting UU tersebut disosialisasikan kepada parta investor dan ke berbagai perusahaan sejenis agar tidak lagi terjadi pelanggaran. Direktur perusahaan yang berkantor di Jakarta itu kepada ANTARA News mengatakan, dewasa ini pihaknya masih harus menyelesaikan kontrak 20 ribu naker dengan pola "outsourcing" di bisnis inti perusahaan penerima. Gelar wicara itu bertajuk "Prokontra `Outsourcing` di Batam" yang penolakannya menjadi tema Gerakan Buruh se- Indonesia pada "May Day" (Hari Buruh Internasional) 1Mei 2006. Praktik tersebut dinilai tidak melindungi kepentingan hari tua buruh bersangkutan, menimbulkan kecemburuan buruh "non-outsourcing" karena perbedaan gaji, serta menyalahi UU Ketenagakerjaan. Acara di Batam menghadirkan Karel Budiman, Wakil Presiden DPP FSPMI Ridwan Monoarfa, Karles Sinaga dari Komisi IV DPRD Kota Batam, serta Emrizal yang kepala bidang Hubungan Industrial dan Persyaratan Kerja Disnaker Kota Batam. Emrizal mengatakan di Batam dewasa ini terdapat sekitar 20 perusahaan jasa pemasok naker dengan pola "outsourcing" pekerjaan inti. Akan tetapi, mengenai jumlah naker yang dimaksud, ia mengatakan tidak mengetahui persis sebab tidak ada laporan dari perusahaan pemberi maupun penerima. "Jumlah yang ada di perusahaan-perusahaan pun selalu berubah," kilahnya. "Outsourcing" berdasarkan pasal 59 UU No 13/2003 hanya dibolehkan bagi pekerjaan- pekerjaan pemborongan, dan bukan pada naker yang dipekerjakan ke bisnis inti perusahaan penerima. Namun, di Batam kian berkembang praktik "outsourcing" naker dari perusahaan pemasok naker ke pekerjaan inti perusahaan penerima. Anti Sujanto dari FSPMI Batam mencontohkan ada sebuah perusahaan yang karyawannya 3.000, ternyata di bisnis intinya terdapat 2.700 orang tenaga "outsourcing". Karles Sinaga mengemukakan, pada tahun 1991, ketika Batam masih "sepi" dari pekerja pendatang, Tunas Karya berjasa dalam mendatangkan pekerja. Akan tetapi setelah 15 tahun kemudian, hendaknya Tunas Karya maupun perusahaan- perusahaan sejenis, melindungi naker yang sudah berdomisili lama di Batam. DPRD Kota Batam sendiri, katanya, kini berinisiatif menyiapkan rancangan peraturan daerah tentang ketenagakerjaan yang di antaranya akan membatasi pekerja pendatang baru agar dapat melindungi naker lama yang usianya sudah di atas 25 tahun dan telah lama bekerja di Batam.(

Rabu, 22 Februari 2012

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca- Putusan MK Kedudukan hukum pelaksanaan Outsourcing ini didasarkan pada Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang berbunyi: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” Pada 17 Januari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (“MK”) memutus permohonan pengujian UUK yang diajukan oleh Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Didik Suprijadi (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/ PUU-IX/2011 ). Berikut bunyi amar putusannya: AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: · Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian ; · Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam 47 perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; · Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; · Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; · Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Sumber: Putusan MK No. 27/PUU- IX/2011 Dalam pertimbangannya, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak- haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing, yaitu : 1. Dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”). 2. Menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan. Meski demikian, kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat tersebut. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/ I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 . “Putusan Mahkamah Konstitusi itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin ,” kata Menakertrans Muhaimin Iskandar, sebagaimana dikutip dalam artikel Kemenakertrans Terbitkan Aturan Outsourcing dan PKWT. Bahwa Putusan MK No. 27/PUU- IX/2011 tidaklah mencabut pasal UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai outsourcing (lihat amar putusannya di atas). Untuk pekerja/karyawan outsourcing saat ini diberikan perlindungan hukum dalam dua model outsourcing sebagaimana di jelaskan di atas sesuai putusan MK tersebut.